Monday, June 15, 2009

Abdullah Bin Ummi Maktum : Pahlawan buta yang membawa panji ke tengah-tengah medan pertempuran

Dalam sejarah Islam dia dikenal memiliki ilmu dan adab istimewa yang dikaruniakan oleh Allah kepada dia, menggantikan kebutaan matanya, sebagai cahaya
dalam pandangan dan pancaran di hati. Sehingga dia dapat melihat dengan mata hati apa-apa yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala orang lain. Hatinya dapat mengintip apa yang tersembunyi. Bila Rasulullah saw pergi ke berbagai medan peperangan, dia selalu ditunjuk menjadi wakil beliau di Madinah, mengimami shalat jamaah di mihrab beliau, dan berdiam di sebelah kiri mimbar dengan penuh khusyu'.

Tidak seberapa lama awal sejarah Islam di Mekah, Ibnu Ummi Maktum memperoleh hidayah hatinya untuk bergabung bersama orang-orang yang telah masuk Islam pada masa permulaan. Ketika itu dia masih muda belia, dan hatinya merasakan betul manisnya keimanan. Menginjak masa dewasa dia merasakan bahwa ajaran Islam telah menjadikan hatinya bersih, sehingga walaupun matanya buta namun dia tidak mendapatkan hal itu kecuali sebagai nikmat besar yang dikaruniakan oleh Allah kepada dirinya. Dimana dengan sebab itu Allah memberi kemampuan memandang ajaran kebenaran dengan pancaran mata hatinya. Di sini, dia dapat memahami makna yang hakiki dari firman Allah— yang artinya: Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi hati yang di dalam dada.”

Kemudian, timbul keyakinan di dalam hati Ibnu Ummi Maktum bahwa Allah memberi dia keistimewaan, yaitu keistimewaan yang diberikan juga kepada orang-orang buta seperti dia atas manusia lainnya, bahwa dia akan membalas mereka dengan pahala surga. Yang demikian itu tatkala dia mendengar hadist berikut:

Diriwayatkan oleh Anas bin Malik, “Sesungguhnya Jibril datang kepada Rasulullah saw, yang ketika itu Ibnu Ummi Maktum sedang bersama beliau”. Dia lalu bertanya, “Sejak kapankah pandanganmu buta?” Jawabnya, “Sejak aku kecil”. Dia berkata, “Firman Allah swt: Jika aku mengambil suatu kemuliaan seorang hamba niscaya AKU tidak akan memberi dia pengganti selain pahala syurga...”

Ibnu Ummi Maktum mempunyai perasaan yang sangat peka untuk mengetahui waktu. Setiap menjelang waktu fajar, dengan perasaan jiwa yang segar dia keluar dari rumahnya dengan bertopang pada tongkat atau bersandar pada lengan salah seorang dari kaum Muslimin untuk mengumandangkan adzan di masjid Rasul. Dia selalu bergantian adzan bersama Bilal bin Rabah. Jika salah satu dari mereka berdua adzan maka yang satunya bertindak mengumandangkan iqamat. Akan tetapi Bilal mengumandangkan adzan semalam untuk membangunkan kaum Muslimin, sedangkan Ibnu Ummi Maktum mengumandangkannya waktu subuh. Sehingga, karenanya Rasulullah saw bersabda, “Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan...”

Allah telah memuliakan Ibnu Ummi Maktum, yang mana Dia menegur Nabi saw karenanya. Yaitu ketika Nabi sedang duduk bersama beberapa orang Qurais yang diantara mereka terdapat Uqbah bin Rabi'ah dan beberapa orang tokoh lainnya. Beliau bersabda, “Tidakkah baik sekiranya kamu datang dengan begini dan begini?”

Kata mereka, “Benar.”

Tiba-tiba Ibnu Ummi Maktum datang menanyakan tentang sesuatu kepada beliau dan beliau mengelak karena sangat sibuk berbicara dengan mereka. Lalu, Allah menurunkan ayat yang berbunyi: “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya —yakni Ibnu Ummi Maktum. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup—yakni Ukbah dan kawan-kawannya—maka kamu melayaninya. Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut (kepada Allah) maka kamu mengabaikannya—yakni Ibnu Ummi Maktum...”

Sewaktu ayat ini turun Rasulullah lantas memanggil Ibnu Ummi Maktum dan memberi dia suatu kehormatan dengan menunjuknya sebagai wakil beliau di Madinah pada saat beliau menghadapi peperangan untuk yang pertama kalinya.

Karena itu pula maka Ibnu Ummi Maktum memiliki kedudukan tinggi di kalangan penduduk Madinah. Apalagi dia seorang sahabat yang paling banyak menghafal ayat al-Qur'an, sebagaimana pula banyak hafal hadist-hadist Rasulullah. Lain dari pada itu Ibnu Ummi Maktum bercita-cita untuk dapat mengikuti jihad di medan peperangan walaupun matanya buta. Dia menyampaikan keinginannya itu kepada sahabat-sahabat Rasulullah. Tentu saja para sahabat mereka merasa amat senang karena keutamaan yang dimiliki Ibnu Ummi Maktum.

Suatu kali Ibnu Ummi Maktum merasa sangat sedih dan pilu hatinya tatkala turun wahyu kepada Rasulullah yang berbunyi, “Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang).”

Ibnu Ummi Maktum berkata, “Ya, Tuhanku! Engkau memberiku ujian begini, bagaimana aku dapat berbuat...??”

Kemudian turunlah ayat—yang berbunyi, “Selain yang mempunyai udzur...”

Penghormatan macam apakah gerangan yang lebih tinggi dari penghormatan serupa ini, dimana wahyu dua kali diturunkan lantaran persoalan Ibnu Ummi Maktum; yang pertama merupakan teguran kepada Nabi saw, dan yang kedua ketentuan berperang bagi orang yang mampu dan yang berhalangan, termasuk diantaranya adalah Ibnu Ummi Maktum.

Namun demikian, Ibnu Ummi Maktum tetap kuat hasratnya untuk dapat berperang bersama barisan kaum mujahidin. Dia telah mengutarakan hasratnya ini hingga berkali-kali. Kata dia kepada sahabat-sahabat Rasulullah, “Serahkanlah panji kepadaku, karena sesungguhnya aku adalah seorang buta sehingga tidak akan dapat melarikan diri! Tempatkanlah aku di antara kedua pasukan!”

Sang sahabat mulia dan agung ini tidak berakhir hayatnya sebelum Allah mengabulkan hasrat hatinya tersebut. Pada saat perang Qadisiyah dia sebagai pembawa panji pasukan berwarna hitam. Dialah seorang buta pertama yang turut berperang dalam sejarah peperangan Islam.

Sejarah tadi tertunduk di hadapan perjalanan hidup laki-laki yang agung ini. Betapa sedikit dan jarang sekali seseorang tercatat demikian kehidupannya oleh sejarah.

Read More......

ABDURRAHMAN BIN 'AUF : Dermawan yang masuk syurga

Pada suatu hari, kota Madinah sedang aman dan tenteram,terlihat debu tebal yang mengepul ke udara, datang dari tempatketinggian di pinggir kota; debu itu semakin tinggi bergumpal-gumpai hingga hampir menutup ufuk pandangan mata. Anginyang bertiup menyebabkan gumpalan debu kuning dari butiran-butiran sahara yang lunak, terbawa menghampiri pintu-pintu kota, dan berhembus dengan kuatnya di jalan-jalan rayanya.

Orang banyak menyangkanya ada angin ribut yang menyapu dan menerbangkan pasir. Tetapi kemudian dari balik tirai debu itu segera mereka dengar suara hiruk pikuk, yang memberi tahu tibanya suatu iringan kafilah besar yang panjang. Tidak lama kemudian, sampailah 700 kendaraan yang sarat dengan muatannya memenuhi jalan-jalan kota Madinah dan menyibukkannya. Orang banyak saling memanggil dan menghimbau menyaksikan keramaian ini serta turut bergembira dan bersukacita dengan datangnya harta dan rizqi yang dibawa kafilah itu ...... Ummul Mu'minin Aisyah r.a. demi mendengar suara hiruk pikuk itu ia bertanya: "Apakah yang telah terjadi dikota Madinah…..?" Mendapat jawaban, bahwa kafilah Abdurrahman bin 'Auf barn datang dari Svam membawa barang-barang dagangannya . .. Kata Ummul Mu'minin lagi: -- "Kafilah yang telah menyebabkan semua kesibukan ini?" "Benar, ya Ummal Mu'minin ... karena ada 700 kendaraan...... !" Ummul Mu'minin menggeleng-gelengkan kepalanya, sembari melayangkan pandangnya jauh menembus, seolah-olah hendak mengingat-ingat kejadian yang pernah dilihat atau ucapan yang pernah didengarnya.

Kemudian katanya: "Ingat, aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: "K ulihat Abdurrahman bin'Auf masuk surga dengan perlahan-lahan!"Abdurrahman bin 'Auf masuk surga dengan perlahan-lahan... ? Kenapa ia tidak memasukinya dengan melompat atau berlari kencang bersama angkatan pertama para shahabat Rasul.. ? Sebagian shahabat menyampaikan ceritera Aisyah kepadanya, maka ia pun teringat pernah mendengar Nabi saw. Hadits ini lebih dari satu kali dan dengan susunan kata yangberbeda-beda.

Dan sebelum tali-temali perniagaannya dilepaskannya,ditujukannya langkah-langkahnya ke rumah Aisyah lain berkata kepadanya: "Anda telah mengingatkanku suatu Hadits yang tak pernah kulupakannya....".Kemudian ulasnyalagi: "Dengan ini aku mengharap dengan sangat agar anda menjadi saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut kendaraan dan perlengkapannya, ku persembahkan di jalan Allah 'azza wajalla.....!" Dan dibagikannyalah seluruh muatan 700 kendaraan itu kepada semua penduduk Madinah dan sekitarnya sebagai perbuatan baik yang maha besar .... Peristiwa yang satu ini saja, melukiskan gambaran yang sempurna tentang kehidupan shahabat Rasulullah, Abdurahman bin 'Auf. Dialah saudagar yang berhasil. Keberhasilan yang paling besar dan lebih sempurna! Dia pulalah orang yang kaya raya. Kekayaan yang paling banyak dan melimpah ruah ...! Dialah seorang Mu'min yang bijaksana yang tak sudi kehilangan bagian keuntungan dunianya oleh kawna keuntungan Agamanya, dan tidak suka harta benda kekayaannya meninggalkannya dari kafilah iman dan pahala surga. Maka dialah r.a. yang membaktikan harta kekayaannya dengan kedermawanan dan pemberian yang tidak terkira, dengan hati yang puas dan rela ... !

Kapan dan bagaimana masuknya orang besar ini ke dalam Islam? Ia masuk Islam sejak fajar menyingsing.... Ia telah memasukinya di saat-saat permulaan da'wah, yakni sebelum Rasulullah saw. memasuki rumah Arqam dan menjadikannya sebagai tempat pertemuan dengan para shahabatnya orang-orang Mu'min ... Dia adalah salah seorang dari delapan orang yang dahulu masuk Islam.. . . Abu, Bakar datang kepadanya menyampaikan Islam, begitu juga kepada Utsman bin 'Affan, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubedillah, dan Sa'ad bin Abi Waqqash. Makatak ada persoalan yang tertutup bagi mereka, dan tak ada keragu-raguan yang menjadi penghalang, bahkan mereka segera pergi bersama Abu Bakar Shiddiq menemui RasuIullah saw. menyatakan bai'at dan memikul bendera Islam....Dan semenjak keislamannya sampai berpulang menemui Tuhannya dalam umur tujuhpuluh lima tahun, ia menjadi teladan yang cemerlang sebagai Seorang Mu'min yang besar. Hal ini menyebabkan Nabi saw. memasukkannya dalam sepuluh orang Yang telah diberi kabar gembira sebagai ahli surga.

Dan Umar r.a. mengangkatnya pula sebagai anggota kelompok musyawarah yang berenam yang merupakan calon khalifah yang akan dipilih sebagai penggantinya, seraya katanya: "Rasulullah wafat dalam keadaan ridla kepada mereka!"

Segeralah Abdurrahman masuk Islam menyebabkannya menceritakan nasib malang berupa penganiayaan dan penindasan dari Quraisy .... Dan sewaktu Nabi saw., memerintahkan para shahabatnya hijrah ke Nabsyi, Ibnu 'Auf ikut berhijrah kemudian kembali lagi ke Mekah, lalu hijrah untuk kedua kalinya ke Habsyi dan kemudian hijrah ke Madinah . . . ikut bertempur di perang Badar, Uhud dan peperangan-peperangan lainnya.

Keberuntungannya dalam perniagaan sampai suatu batas yang membangkitkan dirinya pribadi ketakjuban dan keheranan, hingga katanya: "Sungguh, kulihat diriku, seandainya aku mengangkat batu niscaya kutemukan di bawahnya emas dan perak......!" Perniagaan bagi Abdurrahman bin 'Auf r.a. bukan berarti rakus dan loba .. Bukan pula suka menumpuk harta atau hidup mewah dan ria! Malah itu adalah suatu amal dan tugas kewajibanyang keberhasilannya akan menambah dekatnya jiwa kepada Allah dan berqurban di jalan-Nya ... ·

Dan Abdurrahman bin 'Auf seorang yang berwatak dinamis, kesenangannya dalam amal yang mulia di mana juga adanya ....Apabila ia tidak sedang shalat di mesjid, dan tidak sedang berjihad dalam mempertahankan Agama tentulah ia sedang mengurus perniagaannya yang berkembang pesat, kafilah-kafilahnya membawa ke Madinah dari Mesir dan Syria barang-barang muatan yang dapat memenuhi kebutuhan seluruh jazirah Arab berupa pakaian dan makanan .....

Dan watak dinamisnya ini terlihat sangat menonjol, ketika Kaum Muslimin hijrah ke Madinah ....Telah menjadi kebiasaan Rasul pada waktu itu untuk mempersaudarakan dua orang shahabat, salah seorang dari muhajirin warga Mekah dan yang lain dari Anshar penduduk Madinah. Persaudaraan ini mencapai kesempurnaannya dengan cara yang harmonis yang mempesonakan hati. Orang-orang Anshar penduduk Madinah membagi dua seluruh kekayaan miliknya dengan saudaranya orang muhajirin .. , sampai-sampai soal rumahtangga. Apabila ia beristeri dua orang diceraikannya yang seorang untuk memperisteri saudaranya ......!

Ketika itu Rasul yang mulia mempersaudarakan antara Abdurrahman bin 'Auf dengan Sa'ad bin Rabi'.... Dan marilah kita dengarkan shahabat yang mulia Anas bin Malik r.a. meriwayatkan kepada kita apa yang terjadi: " ... dan berkatalah Sa'ad kepada Abdurrahman: "Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang kaya raya, silakan pilih separoh hartaku dan ambillah! Dan aku mempunyai dua orang isteri, coba perhatikan yang lebih menarik perhatian anda, akan kuceraikan ia hingga anda dapat memperisterinya......!

Jawab Abdurrahman bin 'Auf: "Moga-moga Allah memberkati anda, isteri dan harta anda ! Tunjukkanlah letaknya pasar agar aku dapat berniaga....! Abdurrahman pergi ke pasar, dan berjual belilah di sana.......ia pun beroleh keuntungan ...!

Kehidupan Abdurrahman bin 'Auf di Madinah baik semasa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam maupun sesudah wafatnya terus meningkat · · · Barang apa Saja yang ia pegang dan dijadikannya pokok perniagaan pasti menguntungkannya. Seluruh usahanya ini ditujukan untuk mencapai ridla Allah semata, sebagai bekal di alam baqa kelak.....! Yang menjadikan perniagaannya berhasil dan beroleh berkat karena ia selalu bermodal dan berniaga barang yang halal dan menjauhkan diri dari perbuatan haram bahkan yang syubhat Seterusnya yang menambah kejayaan dan diperolehnya berkat, karena labanya bukan untuk Abdurrahman sendiri . · · tapi di dalamnya terdapat bagian Allah yang ia penuhi dengan setepat-tepatnya, pula digunakannya untuk memperkokoh hubungan kekeluargaan serta membiayai sanak saudaranya, serta menyediakan perlengkapan yang diperlukan tentara Islam ..... Bila jumlah modal niaga dan harta kekayaan yang lainnya ditambah keuntungannya yang diperolehnya, maka jumlah kekayaan Abdurrahman bin 'Auf itu dapat dikira-kirakan apabila kita memperhatikan nilai dan jumlah yang dibelanjakannya pada jalan Allah Rabbul'alamin! Pada suatu hati ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: "Wahai ibnu 'Auf! anda termasuh golongan orang kaya dan anda akan masuk surga secara perlahan-lahan....! Pinjamkanlah kekayaan itu kepada Allah, pasti Allah mempermudah langkah anda....!" Semenjak ia mendengar nasihat Rasulullah ini dan ia menyediakan bagi AIlah pinjaman yang balk, maka Allah pun memberi ganjaran kepadanya dengan berlipat ganda.

Di suatu hari ia menjual tanah seharga 40 ribu dinar, kemudian uang itu dibagi-bagikannya semua untuk keluarganya dari Bani Zuhrah, untuk para isteri Nabi dan untuk kaum fakir miskin.

Diserahkannya pada suatu hari limaratus ekor kuda untuk perlengkapan balatentara islam ...dan di hari yang lain seribu limaratus kendaraan. Menjelang wafatnya ia berwasiat lima puluh ribu dinar untuk jalan Allah, lain diwasiatkannya pula bagi setiap orang yang ikut perang Badar dan masih hidup, masing-masing empat ratus dinar, hingga Utsman bin Affan r.a. yang terbilang kaya juga mengambil bagiannya dari wasiat itu, serta katanya:"Harta Abdurrahman bin 'Auf halal lagi bersih, dan memakan harta itu membawa selamat dan berkat".

Read More......

Imam Al - Ghazali

Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad, dilahirkan pada tahun 450 H/ 1059 di Thus daerah Khurasan. Ia dikenal dengan Al - Ghazali karena ayahnya pemintal tenun wol atau karena ia berasal dari desa Ghazalah. Beliau wafat pada tahun 505 H / 1111.

Pendidikannya dimulai didaerahnya yaitu belajar kepada Ahmad Ibnu Muhammad al - Razkani al - Thusi, setelah itu pindah ke Jurjan ke pendidikan yang dipimpin oleh Abu Nash al-Ismaili mempelajari semua bidang agama dan bahasa, setelah tamat kembali ke Thus belajar tasawuf dengan Syekh Yusuf al - Nassaj (wafat 487 H) , kemudian ke Nisyapur belajar kepada Abul Ma'al al-Juwaini yang bergelar Imam al - Haramain dan melanjutkan pelajaran Tasawuf kepada Syekh Abu Ali al - Fadhl Ibnu Muhammad Ibnu Ali al - Farmadi, dan ia mulai mengajar dan menulis dalam Ilmu Fiqh.

Setelah Imam al - Juwaini wafat ia pindah ke Mu'askar mengikuti berbagai forum diskusi dan seminar kalangan ulama dan intelektual dan dengan segala kecermelangannya membawanya menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah di Baghdad pada tahun 484 H, disamping memberikan kuliah, ia juga mengkaji filsafat Yunani dan filsafat Islam. Kecermelangan, keharuman namanya dan...
kesenangan duniawi yang melimpah ruah di Baghdad melebihi ketika ia di Mu'askar, dikota ini ia sakit dan secara tiba-tiba meninggalkan Baghdad mengundurkan diri dari kegemerlapan duniawi tersebut.

Mulai th 488 H/ 1095 ia ke Damaskus. di Masjid Umawi ia ber'itiqaf dan berzikir dipuncak menara sebelah barat sepanjang hari dengan makan dan minum yang terbatas. Ia memasuki suluk sufi dengan riyadhah dan mujahadah terus menerus seperti itu selama 2 tahun di Damaskus. Setelah itu pergi ke Baitul Maqdis di Palestina, setiap hari ia masuk Qubbah Shahrah untuk berzikir, ia juga ke al - Khalil berziarah ke makam Nabi Ibrahim as. Setelah dari Palestina, ia melaksanakan ibadah haji di Mekkah dan berziarah ke makam Rasullulah di Madinah.

Ia pernah kembali ke Baghdad untuk mengajar di Perguruan Nidzamiyah Baghdad, namum tidak berapa lama kemudian kembali ke Thus dan mendirikan khanaqah untuk para sufi dan mendirikan madrasah untuk mengajar ilmu Tasawuf.

Karya - karya tulis Al-Ghazali meliputi berbagai bidang keislaman, Kalam, Fiqh, Filsafat, Tasawuf dan lain lainnya yang berbentuk buku maupun risalah.

Kitab kitab Al -Ghazali yang membahas tentang Tasawuf :

Mizan al - 'Amal
Al - Ma'arif al-Aqliah wa Lubab al - Hikmah al - Ilahiyah
Ihya 'Ulumiddin
Al - Maqshad al - Astna Fi Syarh Asma al - Husna
Bidayat al - Hidayah
Al - Madhnun Bih 'ala Ghairi Ahlil
Kaimiya al - Sa'adah
Misykat al - Anwar
Al - Kasyf Wa al - Tabyin Fi Ghurur al - Naas Ajma'in
Al - Munqidz Min al - Dhalal
Al - Durrat al Fakhirah Fi Kasyf 'Ulumi al - Akhirah
Minhaj al - 'Abidin Ila Jannati Rabbi al - 'Alamin
Al - Arba'in Fi Ushul al - Din
Tasawuf Al - Ghazali menghimpun akidah, syariat dan akhlak dalam suatu sistematika yang kuat dan amat berbobot, karena teori - teori tasawufnya lahir dari kajian dan pengalaman pribadi setelah melaksanakan suluk dalam riyadhah dan mujahadah yang intensif dan berkesinambungan, sehingga dapat dikatakan bahwa seumur hidupnya ia bertasawuf.

Dalam pandangannya, Ilmu Tasawuf mengandung 2 bagian penting, pertama menyangkut ilmu mu'amalah dan bagian kedua menyangkut ilmu mukasyafah, hal ini diuraikan dalam karyanya Ihya 'Ulumiddin, Al -Ghazali menyusun menjadi 4 bab utama dan masing-masing dibagi lagi kedalam 10 pasal yaitu :

Bab pertama : tentang ibadah (rubu' al - ibadah)
Bab kedua : tentang adat istiadat (rubu' al - adat)
Bab ketiga : tentang hal -hal yang mencelakakan (rubu' al - muhlikat)
Bab keempat : tentang maqamat dan ahwal (rubu' al - munjiyat)
Menurutnya, perjalanan tasawuf itu pada hakekatnya adalah pembersihan diri dan pembeningan hati terus menerus sehingga mampu mencapai musyahadah. Oleh karena itu ia menekankan pentingnya pelatihan jiwa, penempaan moral atau akhlak yang terpuji baik disisi manusia maupun Tuhan.
Imam Al -Ghazali yang bergelar Hujjatul Islam meninggal dikota kelahirannya Thus pada hari Senin 14 Jumadil Akhir 505 H.

Read More......

Imam Abu Dawud

Setelah Imam Bukhari dan Imam Muslim, kini giliran Imam Abu Dawud yang juga merupakan tokoh kenamaan ahli hadits pada jamannya. Kealiman, kesalihan dan kemuliaannya semerbak mewangi hingga kini.

Nama Lengkap dan Tahun Kelahirannya:

Abu Dawud nama lengkapnya ialah Sulaiman bin al-Asy'as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin 'Amr al-Azdi as-Sijistani, seorang imam ahli hadits yang sangat teliti, tokoh terkemuka para ahli hadits setelah dua imam hadits Bukhari dan Muslim serta pengarang kitab Sunan. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.

Perkembangan dan Perlawatannya

Sejak kecilnya Abu Dawud sudah mencintai ilmu dan para ulama, bergaul dengan mereka untuk dapat mereguk dan menimba ilmunya.
Belum lagi mencapai usia dewasa, ia telah mempersiapkan dirinya untuk mengadakan perlawatan, mengelilingi berbagai negeri. Ia belajar hadits dari para ulama yang tidak sedikit jumlahnya, yang dijumpainya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri-negeri lain. Perlawatannya ke berbagai negeri ini membantu dia untuk memperoleh pengetahuan luas tentang hadits, kemudian hadits-hadits yang diperolehnya itu disaring dan hasil penyaringannya dituangkan dalam kitab As-Sunan. Abu Dawud mengunjungi Baghdad berkali-kali. Di sana ia mengajarkan hadits dan fiqh kepada para penduduk dengan memakai kitab Sunan sebagai pegangannya. Kitab Sunan karyanya itu diperlihatkannya kepada tokoh ulama hadits, Ahmad bin Hanbal. Dengan bangga Imam Ahmad memujinya sebagai kitab yang sangat indah dan baik.

Kemudian Abu Dawud menetap di Basrah atas permintaan gubernur setempat yang menghendaki supaya Basrah menjadi "Ka'bah" bagi para ilmuwan dan peminat hadits.

Guru-gurunya

Para ulama yang menjadi guru Imam Abu Dawud banyak jumlahnya. Di antaranya guru-guru yang paling terkemuka ialah Ahmad bin Hanbal, al-Qa'nabi, Abu 'Amr ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raja', Abu'l Walid at-Tayalisi dan lain-lain. Sebagian gurunya ada pula yang menjadi guru Imam Bukhari dan Imam Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abi Syaibah dan Qutaibah bin Sa'id.





Murid-muridnya (Para Ulama yang Mewarisi Haditsnya)

Ulama-ulama yang mewarisi haditsnya dan mengambil ilmunya, antara lain Abu 'Isa at-Tirmizi, Abu Abdur Rahman an-Nasa'i, putranya sendiri Abu Bakar bin Abu Dawud, Abu Awanah, Abu Sa'id al-A'rabi, Abu Ali al-Lu'lu'i, Abu Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa'id al-Jaldawi dan lain-lain.

Cukuplah sebagai bukti pentingnya Abu Dawud, bahwa salah seorang gurunya, Ahmad bin Hanbal pernah meriwayatkan dan menulis sebuah hadits yang diterima dari padanya. Hadits tersebut ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Hammad bin Salamah dari Abu Ma'syar ad-Darami, dari ayahnya, sebagai berikut: "Rasulullah SAW. ditanya tentang 'atirah, maka ia menilainya baik."

Akhlak dan Sifat-sifatnya yang Terpuji

Abu Dawud adalah salah seorang ulama yang mengamalkan ilmunya dan mencapai derajat tinggi dalam ibadah, kesucian diri, wara' dan kesalehannya. Ia adalah seorang sosok manusia utama yang patut diteladani perilaku, ketenangan jiwa dan kepribadiannya. Sifat-sifat Abu Dawud ini telah diungkapkan oleh sebagian ulama yang menyatakan: Abu Dawud menyerupai Ahmad bin Hanbal dalam perilakunya, ketenangan jiwa dan kebagusan pandangannya serta kepribadiannya. Ahmad dalam sifat-sifat ini menyerupai Waki', Waki menyerupai Sufyan as-Sauri, Sufyan menyerupai Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha'i, Ibrahim menyerupai 'Alqamah dan ia menyerupai Ibn Mas'ud. Sedangkan Ibn Mas'ud sendiri menyerupai Nabi SAW. dalam sifat-sifat tersebut. Sifat dan kepribadian yang mulia seperti ini menunjukkan aatas kesempurnaan keberagamaan, tingkah laku dan akhlak.

Abu Dawud mempunyai pandangan dan falsafah sendiri dalam cara berpakaian. Salah satu lengan bajunya lebar namun yang satunya lebih kecil dan sempit. Seseorang yang melihatnya bertanya tentang kenyentrikan ini, ia menjawab: "Lengan baju yang lebar ini digunakan untuk membawa kitab-kitab, sedang yang satunya lagi tidak diperlukan. Jadi, kalau dibuat lebar, hanyalah berlebih-lebihan.

Pujian Para Ulama Kepadanya

Abu Dawud adalah juga merupakan "bendera Islam" dan seorang hafiz yang sempurna, ahli fiqh dan berpengetahuan luas terhadap hadits dan ilat-ilatnya. Ia memperoleh penghargaan dan pujian dari para ulama, terutama dari gurunya sendiri, Ahmad bin Hanbal. Al-Hafiz Musa bin Harun berkata mengenai Abu Dawud: "Abu Dawud diciptakan di dunia hanya untuk hadits, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak melihat orang yang lebih utama melebihi dia." Sahal bin Abdullah At-Tistari, seorang yang alim mengunjungi Abu Dawud. Lalu dikatakan kepadanya: "Ini adalah Sahal, dating berkunjung kepada tuan." Abu Dawud pun menyambutnya dengan hormat dan mempersilahkan duduk. Kemudian Sahal berkata: "Wahai Abu Dawud, saya ada keperluan keadamu." Ia bertanya: "Keperluan apa?" "Ya, akan saya utarakan nanti, asalkan engkau berjanji akan memenuhinya sedapat mungkin," jawab Sahal. "Ya, aku penuhi maksudmu selama aku mampu," tandan Abu Dawud. Lalu Sahal berkata: "Jujurkanlah lidahmu yang engkau pergunakan untuk meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. sehingga aku dapat menciumnya." Abu Dawud pun lalu menjulurkan lidahnya yang kemudian dicium oleh Sahal.

Ketika Abu Dawud menyusun kitab Sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang ulama ahli hadits berkata: "Hadits telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan bagi Nabi Dawud." Ungkapan ini adalah kata-kata simbolik dan perumpamaan yang menunjukkan atas keutamaan dan keunggulan seseorang di bidang penyusunan hadits. Ia telah mempermudah yang sulit, mendekatkan yang jauh dan memudahkan yang masih rumit dan pelik.

Abu Bakar al-Khallal, ahli hadits dan fiqh terkemuka yang bermadzhab Hanbali, menggambarkan Abu Dawud sebagai berikut; Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'as, imam terkemuka pada jamannya adalah seorang tokoh yang telah menggali beberapa bidang ilmu dan mengetahui tempat-tempatnya, dan tiada seorang pun pada masanya yang dapat mendahului atau menandinginya. Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah senantiasa menyinggung-nyingung Abu Dawud karena ketinggian derajatnya, dan selalu menyebut-nyebutnya dengan pujian yang tidak pernah mereka berikan kepada siapa pun pada masanya.

Madzhab Fiqh Abu Dawud

Syaikh Abu Ishaq asy-Syairazi dalam asy-Syairazi dalam Tabaqatul-Fuqaha-nya menggolongkan Abu Dawud ke dalam kelompok murid-murid Imam Ahmad. Demikian juga Qadi Abu'l-Husain Muhammad bin al-Qadi Abu Ya'la (wafat 526 H) dalam Tabaqatul-Hanabilah-nya. Penilaian ini nampaknya disebabkan oleh Imam Ahmad merupakan gurunya yang istimewa. Menurut satu pendapat, Abu Dawud adalah bermadzhab Syafi'i.

Menurut pendapat yang lain, ia adalah seorang mujtahid sebagaimana dapat dilihat pada gaya susunan dan sistematika Sunan-nya. Terlebih lagi bahwa kemampuan berijtihad merupakan salah satu sifat khas para imam hadits pada masa-masa awal.

Memandang Tinggi Kedudukan Ilmu dan Ulama

Sikap Abu Dawud yang memandang tinggi terhadap kedudukan ilmu dan ulama ini dapat dilihat pada kisah berikut sebagaimana dituturkan, dengan sanad lengkap, oleh Imam al-Khattabi, dari Abu Bakar bin Jabir, pembantu Abu Dawud. Ia berkata: "Aku bersama Abu Dawud tinggi di Baghdad. Pada suatu waktu, ketika kami selesai menunaikan shalat Maghrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu pintu aku buka dan seorang pelayan melaporkan bahwa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq mohon ijin untuk masuk. Kemudian aku melapor kepada Abu Dawud tentang tamu ini, dan ia pun mengijinkan. Sang Amir pun masuk, lalu duduk. Tak lama kemudian Abu Dawud menemuinya seraya berkata: "Gerangan apakah yang membawamu datang ke sini pada saat seperti ini?" "Tiga kepentingan," jawab Amir. "Kepentingan apa?" tanyanya. Amir menjelaskan, "Hendaknya tuan berpindah ke Basrah dan menetap di sana, supaya para penuntut ilmu dari berbagai penjuru dunia dating belajar kepada tuan; dengan demikian Basrah akan makmur kembali. Ini mengingat bahwa Basrah telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedy Zenji." Abu Dawud berkata: "Itu yang pertama, sebutkan yang kedua!" "Hendaknya tuan berkenan mengajarkan kitab Sunan kepada putra-putraku," kata Amir. "Ya, ketiga?" Tanya Abu Dawud kembali. Amir menerangkan: "Hendaknya tuan mengadakan majelis tersendiri untuk mengajarkan hadits kepada putra-putra khalifah, sebab mereka tidak mau duduk bersama-sama dengan orang umum." Abu Dawud menjawab: "Permintaan ketiga tidak dapat aku penuhi; sebab manusia itu baik pejabat terhormat maupun rakyat melarat, dalam bidang ilmu sama." Ibn Jabir menjelaskan: "Maka sejak itu putra-putra khalifah hadir dan duduk bersama di majelis taklim; hanya saja di antara mereka dengan orang umum di pasang tirai, dengan demikian mereka dapat belajar bersama-sama."

Maka hendaknya para ulama tidak mendatangi para raja dan penguasa, tetapi merekalah yang harus dating kepada para ulama. Dan kesamaan derajat dalam ilmu dan pengetahuan ini, hendaklah dikembangkan apa yang telah dilakukan Abu Dawud tersebut.

Tanggal Wafatnya

Setelah mengalami kehidupan penuh berkat yang diisi dengan aktivitas ilmia, menghimpun dan menyebarluaskan hadits, Abu Dawud meninggal dunia di Basrah yang dijadikannya sebagai tempat tinggal atas permintaan Amir sebagaimana telah diceritakan. Ia wafat pada tanggal 16 Syawwal 275 H/889M. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepadanya.

Karya-karyanya

Imam Abu Dawud banyak memiliki karya, antara lain:

Kitab AS-Sunnan (Sunan Abu Dawud).
Kitab Al-Marasil.
Kitab Al-Qadar.
An-Nasikh wal-Mansukh.
Fada'il al-A'mal.
Kitab Az-Zuhd.
Dala'il an-Nubuwah.
Ibtida' al-Wahyu.
Ahbar al-Khawarij.


Di antara karya-karya tersebut yang paling bernilai tinggi dan masih tetap beredar adalah kitab Amerika Serikat-Sunnan, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Abi Dawud.

Kitab Sunan Karya Abu Dawud

Metode Abu Dawud dalam Penyusunan Sunan-nya

Karya-karya di bidang hadits, kitab-kitab Jami' Musnad dan sebagainya disamping berisi hadits-hadits hokum, juga memuat hadits-hadits yang berkenaan dengan amal-amal yang terpuji (fada'il a'mal) kisah-kisah, nasehat-nasehat (mawa'iz), adab dan tafsir. Cara demikian tetap berlangsung sampai datang Abu Dawud. Maka Abu Dawud menyusun kitabnya, khusus hanya memuat hadits-hadits hukum dan sunnah-sunnah yang menyangkut hukum. Ketika selesai menyusun kitabnya itu kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Hanbal memujinya sebagai kitab yang indah dan baik.

Abu Dawud dalam sunannya tidak hanya mencantumkan hadits-hadits sahih semata sebagaimana yang telah dilakukan Imam Bukhari dan Imam Muslim, tetapi ia memasukkan pula kedalamnya hadits sahih, hadits hasan, hadits dha'if yang tidak terlalu lemah dan hadits yang tidak disepakati oleh para imam untuk ditinggalkannya. Hadits-hadits yang sangat lemah, ia jelaskan kelemahannya.

Cara yang ditempuh dalam kitabnya itu dapat diketahui dari suratnya yang ia kirimkan kepada penduduk Makkah sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan mereka mengenai kitab Sunannya. Abu Dawud menulis sbb:
"Aku mendengar dan menulis hadits Rasulullah SAW sebanyak 500.000 buah. Dari jumlah itu, aku seleksi sebanyak 4.800 hadits yang kemudian aku tuangkan dalam kitab Sunan ini. Dalam kitab tersebut aku himpun hadits-hadits sahih, semi sahih dan yang mendekati sahih. Dalam kitab itu aku tidak mencantumkan sebuah hadits pun yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan. Segala hadits yang mengandung kelemahan yang sangat kujelaskan, sebagai hadits macam ini ada hadits yang tidak sahih sanadnya. Adapun hadits yang tidak kami beri penjelasan sedikit pun, maka hadits tersebut bernilai salih (bias dipakai alasan, dalil), dan sebagian dari hadits yang sahih ini ada yang lebih sahih daripada yang lain. Kami tidak mengetahui sebuah kitab, sesudah Qur'an, yang harus dipelajari selain daripada kitab ini. Empat buah hadits saja dari kitab ini sudah cukup menjadi pegangan bagi keberagaman tiap orang. Hadits tersebut adalah, yang artinya:

Pertama:
"Segala amal itu hanyalah menurut niatnya, dan tiap-tiap or memperoleh apa yang ia niatkan. Karena itu maka barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya pula. Dan barang siapa hijrahnya karena untuk mendapatkan dunia atau karena perempuan yang ingin dikawininya, maka hijrahnya hanyalah kepada apa yang dia hijrah kepadanya itu."

Kedua:
"Termasuk kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak berguna baginya."

Ketiga:
"Tidaklah seseorang beriman menjadi mukmin sejati sebelum ia merelakan untuk saudaranya apa-apa yang ia rela untuk dirinya."

Keempat:
"Yang halal itu sudah jelas, dan yang harampun telah jelas pula. Di antara keduanya terdapat hal-hal syubhat (atau samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa menghindari syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatan dirinya; dan barang siapa terjerumus ke dalam syubhat, maka ia telah terjerumus ke dalam perbuatan haram, ibarat penggembala yang menggembalakan ternaknya di dekat tempat terlarang.
Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa itu mempunyai larangan. Ketahuilah, sesungguhnya larangan Allah adalah segala yang diharamkan-Nya. Ingatlah, di dalam rumah ini terdapat sepotong daging, jika ia baik, maka baik pulalah semua tubuh dan jika rusak maka rusak pula seluruh tubuh. Ingatlah, ia itu hati."

Demikianlah penegasan Abu Dawud dalam suratnya.
Perkataan Abu Dawud itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Hadits pertama adalah ajaran tentang niat dan keikhlasan yang merupakan asas utama bagi semua amal perbuatan diniah dan duniawiah.
Hadits kedua merupakan tuntunan dan dorongan bagi ummat Islam agar selalu melakukan setiap yang bermanfaat bagi agama dan dunia.
Hadits ketiga, mengatur tentang hak-hak keluarga dan tetangga, berlaku baik dalam pergaulan dengan orang lain, meninggalkan sifat-sifat egoistis, dan membuang sifat iri, dengki dan benci, dari hati masing-masing.
Hadits keempat merupakan dasar utama bagi pengetahuan tentang halal haram, serta cara memperoleh atau mencapai sifat wara', yaitu dengan cara menjauhi hal-hal musykil yang samar dan masih dipertentangkan status hukumnya oleh para ulama, karena untuk menganggap enteng melakukan haram.
Dengan hadits ini nyatalah bahwa keempat hadits di atas, secara umum, telah cukup untuk membawa dan menciptakan kebahagiaan.

Komentar Para Ulama Mengenai Kedudukan Kitab Sunan Abu Dawud

Tidak sedikit ulama yang memuji kitab Sunan ini. Hujatul Islam, Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata: "Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid untuk mengetahui hadits-hadits ahkam." Demikian juga dua imam besar, An-Nawawi dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah memberikan pujian terhadap kitab Sunan ini bahkan beliau menjadikan kitab ini sebagai pegangan utama di dalam pengambilan hokum.

Hadits-hadits Sunan Abu Dawud yang Dikritik

Imam Al-Hafiz Ibnul Jauzi telah mengkritik beberapa hadits yang dicantumkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan memandangnya sebagai hadits-hadits maudu' (palsu). Jumlah hadits tersebut sebanyak 9 buah hadits. Walaupun demikian, disamping Ibnul Jauzi itu dikenal sebagai ulama yang terlalu mudah memvonis "palsu", namun kritik-kritik telah ditanggapi dan sekaligus dibantah oleh sebagian ahli hadits, seperti Jalaluddin Amerika Serikat-Suyuti. Dan andaikata kita menerima kritik yang dilontarkan Ibnul Jauzi tersebut, maka sebenarnya hadits-hadits yang dikritiknya itu sedikit sekali jumlahnya, dan hampir tidak ada pengaruhnya terhadap ribuan hadits yang terkandung di dalam kitab Sunan tersebut. Karena itu kami melihat bahwa hadits-hadits yang dikritik tersebut tidak mengurangi sedikit pun juga nilai kitab Sunan sebagai referensi utama yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahanya.

Jumlah Hadits Sunan Abu Dawud

Di atas telah disebutkan bahwa isi Sunan Abu Dawud itu memuat hadits sebanyak 4.800 buah hadits. Namun sebagian ulama ada yang menghitungnya sebanyak 5.274 buah hadits. Perbedaan jumlah ini disebabkan bahwa sebagian orang yang menghitungnya memandang sebuah hadits yang diulang-ulang sebagai satu hadits, namun yang lain menganggapnya sebagai dua hadits atau lebih. Dua jalan periwayatan hadits atau lebih ini telah dikenal di kalangan ahli hadits.

Abu Dawud membagi kitab Sunannya menjadi beberapa kitab, dan tiap-tiap kitab dibagi pula ke dalam beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah, di antaranya ada 3 kitab yang tidak dibagi ke dalam bab-bab. Sedangkan jumlah bab sebanyak 1.871 buah bab. (Ahmad Diar)

Read More......

Tuesday, June 9, 2009

IMAM MAWARDI

Imam Mawardi adalah seorang ulamak berbangsa Arab lagi faqeh dan tergolong di kalangan ulamak feqh bermazhab Syafie yang terulung. Beliau juga dianggap sebagai salah seorang daripada pemikir Islam dan tokoh politik yang paling menonjol semasa pemerintahan kerajaan Abbasiah.

Nama beliau yang sebenarnya ialah Abu Hassan Ali bin Muhammad bin Habib Mawardi al-Basriyi as-Syafie. Nasab nama beliau dinisbahkan kepada nama Mawardi kerana bapanya seorang penjual air mawar (مَاءُ الْوَرْدِ). Di dalam kitab صبح الأعشى jilid 6 halaman 243, disebutkan ulamak-ulamak yang menukilkan perjalanan hidup beliau berpendapat umur Imam Mawardi ialah 86 tahun.

Beliau dilahirkan di Basrah pada tahun..
364 Hijrah. Ketika itu, kerajaan Abbasiah sedang berada di puncak ketinggian dalam segi keilmuan dan kemajuan pengetahuan Islam. Beliau wafat pada hari Selasa bulan Rabiul Awal tahun 450 Hijrah. Jenazah beliau disembahyangkan oleh Khatib Baghdadi, para ulamak dan pembesar kerajaan di masjid Madinah. Dinukilkan bahawa kewafatan beliau ialah selama 11 hari selepas wafatnya Abu Taib Tabari.

Beliau mempunyai seorang saudara lelaki yang tinggal di Basrah. Keduanya saling berutusan surat untuk bertanyakan tentang hal masing-masing. Pada suatu hari, saudara beliau telah mengutus surat dari Basrah kepada beliau yang pada masa itu tinggal di kota Baghdad. Dalam surat itu, saudara beliau telah menulis sebuah syair:

Kenyamanan udara kota Baghdad yang merindukanku,
Pergi mengunjunginya biarpun kemampuanku terbatas,
Betapakah kesabaranku kini padanya bila kan bertemu,
Dua kenyamanan udara berpanjangan dan berlalu amat singkat.

Dalam kitab أدب القاضي jilid 1 halaman 22, dinyatakan beliau berasal dari sebuah keluarga yang sememangnya sangat mementingkan ilmu pengetahuan. Keluarga beliau sentiasa mengambil berat tentang pendidikannya dan pengajiannya. Selepas itu, beliau melanjutkan pelajaran di kota Baghdad untuk meluaskan pengajian di dalam bidang keilmuan.

Pada peringkat awalnya, semasa menuntut ilmu di Basrah, beliau mendapat bimbingan daripada Abu Qasim Syaumiri, iaitu seorang ulamak yang terkenal di Basrah pada masa itu. Kemudian beliau berhijrah ke kota Baghdad dan tinggal di sana untuk mendapatkan tunjuk ajar daripada Imam Za’farani. Di sana beliau belajar hadis dan mengambil ilmu feqh. Beliau juga berguru dengan Abu Hamid Isfaraini untuk melengkapkan keilmuannya.

Apabila telah mencapai satu taraf yang berkebolehan dan mempunyai ketokohan yang berketrampilan, beliau dibenarkan untuk mengajar ilmu pengetahuan yang telah dipelajari di kota Basrah dan Baghdad. Beliau juga berpindah ke bandar-bandar lain semata-mata untuk menyebarkan ilmu pengetahuan agamanya sehinggalah beliau dilantik menjadi sebagai seorang qadhi di beberapa buah bandar. Tetapi akhirnya, beliau mengambil keputusan untuk menetap di kota Baghdad untuk selama beberapa tahun.

Di sana, beliau telah mengajar ilmu hadis, mentafsirkan al-Qur’an dan mengarang beberapa buah kitab. Kitab karangannya yang banyak menunjukkan beliau sememangnya alim dalam bidang ilmu hadis, feqh, sastera, nahu, falsafah, ilmu kemasyarakatan, politik dan ilmu akhlak.

Beliau digelar sebagai qadhil qudhat (ketua para hakim) pada tahun 429 Hijrah sehingga sebahagian daripada ahli-ahli feqh pada masa itu tidak bersetuju beliau digelarkan dengan nama itu. Mereka mengatakan, tidak ada seorang pun yang layak untuk dinamakan dengan gelaran itu. Walaupun begitu, beliau tetap dipanggil dengan gelaran tersebut oleh sebahagian ulamak-ulamak pada masa itu. Buktinya, gelaran itu masih lagi dikaitkan dengan nama beliau sehinggalah beliau wafat. Bahkan, gelaran itu masih lagi termuat dalam kitab-kitab ulamak mutaakhirin, juga di dalam risalah-risalah pengkaji keilmuan.

Di sepanjang beliau memegang jawatan sebagai qadhi, beliau dapat mengetahui tentang perjalanan kehidupan seharian orang-orang awam pada zamannya secara dekat. Beliau juga dapat menyelami dan memutuskan perkara-perkara adat kebiasaan seharian untuk disesuaikan dengan panduan syarak. Daripada jawatan qadhi, beliau telah dinaikkan taraf kedudukannya di dalam tugas-tugas pentadbiran yang lebih tinggi. Di dalam jawatan barunya itu, beliau dapat mendekati pemimpin-pemimpin politik dan tokoh-tokoh pembesar kerajaan.

Di dalam kesempatan yang diberikan itu, beliau dapat memberikan sedikit sebanyak tunjuk ajar kepada pihak atasan di dalam peranannya untuk mengislah pentadbiran politik pada masa itu bersesuaian dengan undang-undang Islam. Daripada pengalaman beliau ini, kita dapat tahu beliau bolehlah dianggap sebagai seorang pemikir Islam yang dapat mengubah struktur pentadbiran politik pada masa itu, sekaligus menjadi bukti bahawa seorang pejuang kebenaran tidak seharusnya membiarkan pentadbiran sesebuah kerajaan digelumangi dengan percaturan politik yang tidak berlandaskan kepada panduan undang-undang Ilahi.

Akhlak dan Sifat Peribadinya:

Imam Mawardi sentiasa beriltizam dan beristiqamah sepanjang menghayati segala aktiviti serta gerak kerja kehidupan sehariannya. Beliau sentiasa mengarang dan menulis. Dengan itu, peribadinya sentiasa sesuai dengan kedudukan keilmuannya dan ketinggian keilmuannya.

Beliau juga terkenal sebagai seorang yang sangat dipercayai kebenarannya di kalangan ahli-ahli feqh bermazhab Syafie, seorang yang mulia dan tinggi kedudukannya di kalangan ulamak. Beliau mempunyai fikiran dan pandangan yang terbuka dalam bermazhab dan sentiasa mendalami di dalam setiap ilmu kajiannya. Beliau juga seorang yang lemah lembut, sopan dan tersangat hebat dari segi keilmuannya. Oleh itu, beliau sangat disenangi oleh pemerintah pada masa itu sehingga beliau sendiri mendapat tempat istimewa di hadapan khalifah.

Beliaulah yang sentiasa menjadi orang tengah dengan memberikan jalan penyelesaian sekiranya berlaku beberapa perselisihan pendapat di antara pembesar-pembesar kerajaan, khalifah dan rakyat. Beliau sangat mengambil berat tentang masalah mencari kebahagiaan di dunia dan di akhirat untuk dinikmati oleh umum. Oleh itu, beliau mengarang kitab (أدب الدنيا والدين), di mana di dalamnya terkandung beberapa manhaj untuk mengislah individu dan rakyat keseluruhannya.

Beliau juga terkenal sebagai seorang yang berani untuk menegakkan hak dan kebenaran agama, walaupun beliau berada di kalangan pembesar-pembesar negeri. Dalam satu peristiwa yang berlaku pada tahun 426 Hijrah semasa bulan Ramadhan, khalifah telah memerintahkan agar ditambah شاهين شاه الأعظم atau مالك الملوك pada nama Jalalud Daulah ibn Buwaih. Tidak lama selepas itu, khalifah telah memanggil Jalalud Daulah dengan gelaran itu. Sebahagian ahli feqh pada masa itu melarang penggunaan gelaran itu, lantaran gelaran itu hanya layak untuk Allah SWT sahaja.

Syaimiri memberikan fatwa, penggunaan nama Malikul Muluk adalah bergantung kepada qasad dan niat seseorang. Begitu juga fatwa yang dikeluarkan oleh Abu Taib Tabari, menyebut gelaran Malikul Muluk semata-mata adalah diharuskan. Gelaran ini boleh dimaknakan sebagai raja bagi segala raja-raja di bumi. Seterusnya, beliau memberikan penjelasan, sekiranya seseorang itu boleh dipanggil dengan gelaran qadhi qudhat, gelaran Malikul Muluk juga diharuskan penggunaannya. Pendapat Abu Taib Tabari juga mendapat sokongan daripada Tamimi, salah seorang ulamak bermazhab Hanbali.

Akan tetapi, Imam Mawardi tetap bertegas dengan fatwanya yang mengatakan penggunaan gelaran Malikul Muluk adalah dilarang sama sekali. Sebagaimana yang disebutkan sebelum ini, Imam Mawardi adalah di antara orang yang terkenal di kalangan pembesar-pembesar Jalalud Daulah. Selepas Imam Mawardi memberikan fatwa penggunaan gelaran Malikul Muluk dilarang, beliau telah memutuskan hubungan dengan pembesar-pembesar negara. Apabila Jalalud Daulah mengetahui keadaan yang sebenarnya, beliau pun memanggil Imam Mawardi datang ke istana beliau. Imam Mawardi datang dengan rasa serba salah, lantas Jalalud Daulah berkata kepada beliau, “Beta sekarang telah mengetahui keadaan yang sebenarnya. Sekiranya kamu memberikan sesuatu kepada seseorang, nescaya kamu juga memberikannya kepada beta, kerana hubungan yang rapat antara kamu dengan beta. Kamu tidak akan membuat sebarang tindakan dan memberikan fatwa sesuatu kecuali kerana menegakkan agama. Oleh yang demikian, mulai dari sekarang kedudukan kamu akan menjadi lebih tinggi dari sebelum ini di kalangan pembesar-pembesar negara.”

Sebagaimana apa yang telah difatwakan oleh Qadhi Abu Taib Tabari di atas adalah mengikut qias ilmu feqh, sementara fatwa yang telah dikeluarkan oleh Imam Mawardi adalah berdasarkan kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA sebagaimana Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud, “Nama seseorang yang paling hina sekali pada hari kiamat kelak di sisi Allah Taala adalah menggunakan nama gelaran Malikul Muluk.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Bukhari. Di dalam sebuah riwayat yang lain pula Rasulullah SAW telah bersabda yang bermaksud, “Kemurkaan Allah akan melampaui terhadap seseorang yang menggunakan nama gelaran Malikul Muluk.” Ibnu Subki kemudiannya menceritakan, selepas itu kebanyakan dari pemerintah kerajaan Bani Buwaih tidak lagi menggunakan nama gelaran Malikul Muluk, kemudian nama gelaran itu sedikit demi sedikit semakin hilang dari disertakan di awal nama-nama pemerintah kerajaan tersebut.

Ibnu Hilkan di dalam kitab وفيات الأعيان jilid 2 halaman 444 menyatakan, Imam Mawardi mempunyai beberapa buah keramat. Sebahagiannya ialah Imam Mawardi tidak menzahirkan segala karangannya semasa beliau masih hidup lagi. Beliau telah menyimpan semua kitab tulisannya di sebuah tempat. Apabila beliau merasakan dirinya akan meninggal dunia, beliau berkata kepada seseorang yang dipercayai kebenarannya seraya menunjukkan kesemua kitab yang tersimpan di tempat yang ditentukan adalah kitab hasil tulisan tangannya. Beliau tidak menzahirkannya kepada umum semasa hayatnya, kerana beliau merasakan tidak ikhlas semasa beliau mengarang setiap barisan tinta yang dimuatkan di dalam kitab-kitab susunannya. Seterusnya, Imam Mawardi berkata kepada orang kepercayaannya, “Sekiranya aku hampir akan menghembuskan nafas yang terakhir nantinya dan berada di dalam keadaan yang nazak, kamu hendaklah meletakkan tangan kamu di atas tangan aku. Sekiranya tangan aku menggenggam tangan kamu, Allah Taala tidak menerima segala daya usaha aku ketika aku menyusun kesemua kitab karangan ini. Dengan itu, kamu hendaklah campakkan semua kitab karangan aku ke dalam Sungai Dajlah pada waktu malam. Sekiranya tangan aku terbuka luas dan tidak menggenggam tangan kamu, segala karangan aku diterima Allah. Kini aku mengharapkan segala daya usaha aku berasaskan kepada niat yang ikhlas kepada Allah Taala semata-mata.” Orang kepercayaan Imam Mawardi menceritakan, “Bila Imam Mawardi hampir menghembuskan nafas yang terakhir, aku pun meletakkan tangan di atas tangannya, aku dapati tangannya terbuka luas. Justeru itu, aku tahu segala karangan beliau diterima Allah Taala. Selepas itu, aku keluarkan semua kitabnya dari simpanannya untuk aku sebarkan kepada umum.”

Ibnu Subki menukilkan daripada Ibnu Khairun, anak murid Imam Mawardi, Imam Mawardi pernah berkata, “Mungkin kitab al-Hawi ini yang tidak diterima Allah.” Ibnu Khairun meneruskan ceritanya, “Aku lihat karangan-karangannya banyak sekali yang ditulis dengan tangan. Sebahagiannya aku sendiri tidak dapat habis membacanya semasa beliau masih hidup lagi.”

Sekiranya benar riwayat ini, menunjukkan Imam Mawardi tersangat tawadhuk, tidak tertipu dan dapat menjauhkan dirinya dari sifat-sifat megah serta berbangga diri. Beliau merasa takut segala kitabnya tidak diterima Allah Taala Yang Maha Kuasa, kerana ditakuti tidak disertai dengan niat yang teramat ikhlas kepadaNya.

Sebahagian dari sifat-sifatnya ialah beliau berinteraksi dengan semua golongan masyarakat yang berada di sekelilingnya dengan sifat hikmah dan mengikut keadaan suasana mereka, sentiasa memelihara sifat berani untuk menuntut sesuatu yang hak, khususnya ketika bermuamalah dengan orang jahil yang sentiasa menggambarkan menuntut ilmu adalah sesuatu perkara yang tidak digalakkan agama. Apabila orang seperti ini melihat alat-alat perkakas tulisan, mereka sentiasa akan menjauhkan diri. Bila mereka melihat kitab-kitab karangan para bijak pandai, mereka sentiasa mengelakkan diri untuk terus mengkajinya dengan lebih mendalam lagi. Imam Mawardi pernah berkata, “Sebahagian orang yang tergolong dalam kelompok ini adalah terdiri daripada orang yang mempunyai kedudukan yang tertinggi di dalam masyarakat dan orang yang mempunyai nama serta pangkat besar. Aku tersangat takut untuk mendekati mereka kerana aku sentiasa membawa alat-alat tulisan dan kitab. Aku tidak mahu menyusahkan mereka. Apabila aku menjauhkan diri dari mereka, aku merasa tenang dan sentiasa di dalam kebaikan. Apabila aku mendekati mereka, aku merasa sentiasa berada dalam keburukan dan kefasadan.”

Sebahagian dari para gurunya ialah Abu Qasim Abdul Wahid Syaimiri, Abu Hamid Ahmad Isfaraini, Syeikh Imam Abu Muhammad Bafi, Hassan Jabali, Ibnu Marastani Baghdadi, Muhammad ibnu Adi Minqara, Hussain ibnu Ali Karabisi, Abu Ibrahim Ismail Muzani, Ibnu Suraij, Abu Said Asthokhori, Muhammad ibnu Ali Qaffal dan Abu Ishak Ibrahim Maruzi. Sebahagian daripada anak-anak muridnya ialah Khatib Baghdadi, Ibnu Khairun, Abdul Malik bin Ibrahim Maqdisi, Ibnu Aribah, Ibnu Kadis Akbiri, Abu Bakar Khilwani, Abu Mansur Qusyairi, Abu Mansur Abdul Wahid Qusyairi, Abu Muhammad Abdul Ghani Basyrie, Abu Hassan Abdari dan Ruyani. Sebahagian daripada kitab-kitab karangannya ialah Iqna’, Amthalul Qur’an, Kafi Fi Syarhi Mukhtasaril Muzani, Muqtarin, Ahkamus Sultaniah, Adab Qadhi, A’lamun Nubuwwah, Tashilun Nazar, Nasihatul Muluk, Amthalu Walhikam, Hawi Kabir dan kitab Adab Takallum.

Imam Mawardi di kalangan ahli Fikir Islam:

Sebagaimana yang jelas kepada kita sebelum ini, Imam Mawardi telah mencapai darjat ketinggian dari segi keilmuan Islam. Beliau mengatasi semua tokoh ulamak mazhab Syafie pada masanya, sehinggalah semua ulamak pada masa itu memandangnya sebagai seorang yang mempunyai kemuliaan dan kedudukan yang tinggi. Kebanyakan tokoh pada masa itu seingkali mengambil pendapatnya kerana mereka menganggap Imam Mawardi adalah seorang ulamak yang bertaraf mujtahid dan mempunyai banyak ilmu yang dihafaz. Dengan sebab ini, Imam Mawardi mampu untuk meluaskan feqh mazhab Syafie dan menambahkan cabang-cabang ilmu mazhab dengan kemampuan ijtihadnya. Begitulah keadaan Imam Mawardi yang dianggap sebagai sebuah lautan yang mempunyai keilmuan luas yang mampu mencurahkan ilmunya dan mentafsirkan pengetahuannya sesuai dengan peribadinya yang mulia, di samping dengan kedudukan beliau dari segi keilmuannya dan pengetahuannya.

Orientalis dan Imam Mawardi:

Imam Mawardi mempunyai nasib yang amat baik sekali kerana para orientalis sendiri terpegun dengan karangannya terutama sekali kitab beliau yang bernama Ahkamus Sultaniah. Malah mereka seringkali mendapatkan kesan keilmuannya dengan secara mengkaji, memutalaah, mentahkik dan menta’lik. Sehinggakan sebahagian ulamak berpendapat, kitab Ahkamus Sultaniah adalah setanding dengan buku Siasah karangan Aristotle dalam bidang ilmu pemerintahan, sekiranya kitab karangan Imam Mawardi itu dijadikan bahan rujukan di negara-negara Islam, sementara buku Siasah pula dijadikan bahan rujukan di bandar-bandar di negara Yunani. Malah seorang orientalis berbangsa Jerman yang bernama Enger telah mencetak kitab Ahkamus Sultaniah karangan Imam Mawardi di bandar Bone, Jerman pada tahun 1853 Masihi.

Kedudukan Imam Mawardi Dari Segi Keilmuan dan Pengetahuan:

1) Imam Mawardi sendiri telah mengarang kitab dalam bidang politik dan pemerintahan Islam sebanyak 4 buah kitab, ditambah dengan kitab الحاوي الكبير yang menceritakan tentang keseluruhan kefahamannya sesuai dengan mazhab Syafie. Kitab-kitab itu ialah Ahkamus Sultaniah, Adab Wazir, Nasihatul Muluk dan Tashilun Nazar. Setiap kitab mempunyai tajuk tersendiri, walaupun ada tajuk yang hampir-hampir sama iaitu tajuk yang membincangkan tentang masalah perundangan, perekonomian dan kemasyarakatan.

2) Semua karangannya sesuai dengan peristiwa semasa, malah berusaha untuk mengolah hukum syarak disesuaikan dengan masalah baru yang tidak pernah wujud sebelumnya. Ini menunjukkan beliau mempunyai pengalaman yang luas dalam bidang politik dan pentadbiran pemerintahan, kerana suasana yang kacau bilau yang melanda semasa hayat beliau. Oleh itu, beliau berusaha memberi nasihat kepada pihak yang sentiasa berebutkan jawatan dan pangkat duniawi dalam kerajaan Buwaih, kerajaan Salajikah dan kerajaan kecil lainnya.

3) Sekalipun Imam Mawardi berusaha menyebarkan kefahamannya dalam mazhab Syafie, beliau tidaklah mengenepikan sesuatu pendapat yang tidak diiktikadnya. Beliau tidak pernah melupakan peribadi guru yang pernah mendidiknya, sekalipun berlainan mazhab dengannya, bahkan sentiasa mengamalkan kebebasan berfikir selagi tidak bercanggah dengan prinsip Islam itu sendiri.

4) Ketika berbincang dengan ulamak semasa, beliau sentiasa menggunakan sumber ilmu Islam. Beliau mengutamakan masdar kitab al-Qur’an, kemudian bersandarkan kepada Hadis Nabawi.

5) Daripada semua keterangan yang disebutkan, kita boleh membuat kesimpulan, Imam Mawardi layak digelar sebagai qadhi qudhat, kerana beliau merupakan orang yang paling bersederhana antara taklid dan berijtihad. Daripada kitab karangannya, beliau dikelaskan sebagai ulamak yang banyak karangannya setanding dengan Imam Tabari, Mas’udi, Imam Ghazali dan Ibnu Rusd.

Read More......

Khwarizmi 's.....








Read More......

Imam Muslim, Penghimpun dan Penyusun Hadits Terbaik Kedua Setelah Imam Bukhari

Penghimpun dan penyusun hadits terbaik kedua setelah Imam Bukhari adalah Imam Muslim. Nama lengkapnya ialah Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Ia juga mengarang kitab As-Sahih (terkenal dengan Sahih Muslim). Ia salah seorang ulama terkemuka yang namanya tetap dikenal hingga kini. Ia dilahirkan di Naisabur pada tahun 206 H. menurut pendapat yang sahih sebagaimana dikemukakan oleh al-Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya 'Ulama'ul-Amsar.

Kehidupan dan Lawatannya untuk Mencari Ilmu


Ia belajar hadits sejak masih dalam usia dini, yaitu mulaii tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya.


Dalam lawatannya Imam Muslim banyak mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak ia belajar hadits kepada Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas'Abuzar; di Mesir berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadits yang lain.


Muslim berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H. di waktu Imam Bukhari dating ke Naisabur, Muslim sering dating kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung kepada Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam Sahihnya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadits dalam Sahihnya, yang diterimanya dari Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke dalan Sahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu, dengan tetap mengakui mereka sebagai guru.


Wafatnya


Imam Muslim wafat pada Minggu sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun.


Guru-gurunya


Selain yang telah disebutkan di atas, Muslim masih mempunyai banyak ulama yang menjadi gurunya. Di antaranya : Usman dan Abu Bakar, keduanya putra Abu Syaibah; Syaiban bin Farwakh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harb, Amr an-Naqid, Muhammad bin al-Musanna, Muhammad bin Yassar, Harun bin Sa'id al-Ayli, Qutaibah bin Sa'id dan lain sebagainya.


Keahlian dalam Hadits


Apabila Imam Bukhari merupakan ulama terkemuka di bidang hadits sahih, berpengetahuan luas mengenai ilat-ilat dan seluk beluk hadits, serta tajam kritiknya, maka Imam Muslim adalah orang kedua setelah Imam Bukhari, baik dalam ilmu dan pengetahuannya maupun dalam keutamaan dan kedudukannya.


Imam Muslim banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama ahli hadits maupun ulama lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi berketa, "Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, memperhatikan ilmunya dan menempuh jalan yang dilaluinya." Pernyataan ini tidak berarti bahwa Muslim hanyalah seorang pengekor. Sebab, ia mempunyai cirri khas dan karakteristik tersendiri dalam menyusun kitab, serta etode baru yang belum pernah diperkenalkan orang sebelumnya.


Abu Quraisy al-Hafiz menyatakan bahwa di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Muslim (Tazkiratul Huffaz, jilid 2, hal. 150). Maksud perkataan tersebut adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy, sebab ahli hadits itu cukup banyak jumlahnya.


Karya-karya Imam Muslim


Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya :




Al-Jami' as-Sahih (Sahih Muslim).

Al-Musnadul Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadits).

Kitabul-Asma' wal-Kuna.

Kitab al-'Ilal.

Kitabul-Aqran.

Kitabu Su'alatihi Ahmad bin Hambal.

Kitabul-Intifa' bi Uhubis-Siba'.

Kitabul-Muhadramin.

Kitabu man Laisa lahu illa Rawin Wahid.

Kitab Auladis-Sahabah.

Kitab Awhamil-Muhadditsin.



Kitab Sahih Muslim


Di antara kitab-kitab di atas yang paling agung dan sangat bermanfat luas, serta masih tetap beredar hingga kini ialah Al-Jami' as-Sahih, terkenal dengan Sahih Muslim. Kitab ini merupakan salah satu dari dua kitab yang paling sahih dan murni sesudah Kitabullah. Kedua kitab Sahih ini diterima baik oleh segenap umat Islam.


Imam Muslim telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari keadaan para perawi, menyaring hadits-hadits yang diriwayatkan, membandingkan riwayat-riwayat itu satu sama lain. Muslim sangat teliti dan hati-hati dalam menggunakan lafaz-lafaz, dan selalu memberikan isyarat akan adanya perbedaan antara lafaz-lafaz itu. Dengan usaha yang sedeemikian rupa, maka lahirlah kitab Sahihnya.


Bukti kongkrit mengenai keagungan kitab itu ialah suatu kenyataan, di mana Muslim menyaring isi kitabnya dari ribuan riwayat yang pernah didengarnya. Diceritakan, bahwa ia pernah berkata: "Aku susun kitab Sahih ini yang disaring dari 300.000 hadits."


Diriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, yang berkata : "Aku menulis bersama Muslim untuk menyusun kitab Sahihnya itu selama 15 tahun. Kitab itu berisi 12.000 buah hadits.


Dalam pada itu, Ibn Salah menyebutkan dari Abi Quraisy al-Hafiz, bahwa jumlah hadits Sahih Muslim itu sebanyak 4.000 buah hadits. Kedua pendapat tersebut dapat kita kompromikan, yaitu bahwa perhitungan pertama memasukkan hadits-hadits yang berulang-ulang penyebutannya, sedangkan perhitungan kedua hanya menghitung hadits-hadits yang tidak disebutkan berulang.


Imam Muslim berkata di dalam Sahihnya: "Tidak setiap hadits yang sahih menurutku, aku cantumkan di sini, yakni dalam Sahihnya. Aku hanya mencantumkan hadits-hadits yang telah disepakati oleh para ulama hadits."


Imam Muslim pernah berkata, sebagai ungkapan gembira atas karunia Tuhan yang diterimanya: "Apabila penduduk bumi ini menulis hadits selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar kitab musnad ini."


Ketelitian dan kehati-hatian Muslim terhadap hadits yang diriwayatkan dalam Sahihnya dapat dilihat dari perkataannya sebagai berikut : "Tidaklah aku mencantumkan sesuatu hadits dalam kitabku ini, melainkan dengan alasan; juga tiada aku menggugurkan sesuatu hadits daripadanya melainkan dengan alas an pula."


Imam Muslim di dalam penulisan Sahihnya tidak membuat judul setiap bab secara terperinci. Adapun judul-judul kitab dan bab yang kita dapati pada sebagian naskah Sahih Muslim yang sudah dicetak, sebenarnya dibuat oleh para pengulas yang datang kemudian. Di antara pengulas yang paling baik membuatkan judul-judul bab dan sistematika babnya adalah Imam Nawawi dalam Syarahnya.

Read More......