Monday, June 15, 2009

Abdullah Bin Ummi Maktum : Pahlawan buta yang membawa panji ke tengah-tengah medan pertempuran

Dalam sejarah Islam dia dikenal memiliki ilmu dan adab istimewa yang dikaruniakan oleh Allah kepada dia, menggantikan kebutaan matanya, sebagai cahaya
dalam pandangan dan pancaran di hati. Sehingga dia dapat melihat dengan mata hati apa-apa yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala orang lain. Hatinya dapat mengintip apa yang tersembunyi. Bila Rasulullah saw pergi ke berbagai medan peperangan, dia selalu ditunjuk menjadi wakil beliau di Madinah, mengimami shalat jamaah di mihrab beliau, dan berdiam di sebelah kiri mimbar dengan penuh khusyu'.

Tidak seberapa lama awal sejarah Islam di Mekah, Ibnu Ummi Maktum memperoleh hidayah hatinya untuk bergabung bersama orang-orang yang telah masuk Islam pada masa permulaan. Ketika itu dia masih muda belia, dan hatinya merasakan betul manisnya keimanan. Menginjak masa dewasa dia merasakan bahwa ajaran Islam telah menjadikan hatinya bersih, sehingga walaupun matanya buta namun dia tidak mendapatkan hal itu kecuali sebagai nikmat besar yang dikaruniakan oleh Allah kepada dirinya. Dimana dengan sebab itu Allah memberi kemampuan memandang ajaran kebenaran dengan pancaran mata hatinya. Di sini, dia dapat memahami makna yang hakiki dari firman Allah— yang artinya: Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi hati yang di dalam dada.”

Kemudian, timbul keyakinan di dalam hati Ibnu Ummi Maktum bahwa Allah memberi dia keistimewaan, yaitu keistimewaan yang diberikan juga kepada orang-orang buta seperti dia atas manusia lainnya, bahwa dia akan membalas mereka dengan pahala surga. Yang demikian itu tatkala dia mendengar hadist berikut:

Diriwayatkan oleh Anas bin Malik, “Sesungguhnya Jibril datang kepada Rasulullah saw, yang ketika itu Ibnu Ummi Maktum sedang bersama beliau”. Dia lalu bertanya, “Sejak kapankah pandanganmu buta?” Jawabnya, “Sejak aku kecil”. Dia berkata, “Firman Allah swt: Jika aku mengambil suatu kemuliaan seorang hamba niscaya AKU tidak akan memberi dia pengganti selain pahala syurga...”

Ibnu Ummi Maktum mempunyai perasaan yang sangat peka untuk mengetahui waktu. Setiap menjelang waktu fajar, dengan perasaan jiwa yang segar dia keluar dari rumahnya dengan bertopang pada tongkat atau bersandar pada lengan salah seorang dari kaum Muslimin untuk mengumandangkan adzan di masjid Rasul. Dia selalu bergantian adzan bersama Bilal bin Rabah. Jika salah satu dari mereka berdua adzan maka yang satunya bertindak mengumandangkan iqamat. Akan tetapi Bilal mengumandangkan adzan semalam untuk membangunkan kaum Muslimin, sedangkan Ibnu Ummi Maktum mengumandangkannya waktu subuh. Sehingga, karenanya Rasulullah saw bersabda, “Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan...”

Allah telah memuliakan Ibnu Ummi Maktum, yang mana Dia menegur Nabi saw karenanya. Yaitu ketika Nabi sedang duduk bersama beberapa orang Qurais yang diantara mereka terdapat Uqbah bin Rabi'ah dan beberapa orang tokoh lainnya. Beliau bersabda, “Tidakkah baik sekiranya kamu datang dengan begini dan begini?”

Kata mereka, “Benar.”

Tiba-tiba Ibnu Ummi Maktum datang menanyakan tentang sesuatu kepada beliau dan beliau mengelak karena sangat sibuk berbicara dengan mereka. Lalu, Allah menurunkan ayat yang berbunyi: “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya —yakni Ibnu Ummi Maktum. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup—yakni Ukbah dan kawan-kawannya—maka kamu melayaninya. Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut (kepada Allah) maka kamu mengabaikannya—yakni Ibnu Ummi Maktum...”

Sewaktu ayat ini turun Rasulullah lantas memanggil Ibnu Ummi Maktum dan memberi dia suatu kehormatan dengan menunjuknya sebagai wakil beliau di Madinah pada saat beliau menghadapi peperangan untuk yang pertama kalinya.

Karena itu pula maka Ibnu Ummi Maktum memiliki kedudukan tinggi di kalangan penduduk Madinah. Apalagi dia seorang sahabat yang paling banyak menghafal ayat al-Qur'an, sebagaimana pula banyak hafal hadist-hadist Rasulullah. Lain dari pada itu Ibnu Ummi Maktum bercita-cita untuk dapat mengikuti jihad di medan peperangan walaupun matanya buta. Dia menyampaikan keinginannya itu kepada sahabat-sahabat Rasulullah. Tentu saja para sahabat mereka merasa amat senang karena keutamaan yang dimiliki Ibnu Ummi Maktum.

Suatu kali Ibnu Ummi Maktum merasa sangat sedih dan pilu hatinya tatkala turun wahyu kepada Rasulullah yang berbunyi, “Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang).”

Ibnu Ummi Maktum berkata, “Ya, Tuhanku! Engkau memberiku ujian begini, bagaimana aku dapat berbuat...??”

Kemudian turunlah ayat—yang berbunyi, “Selain yang mempunyai udzur...”

Penghormatan macam apakah gerangan yang lebih tinggi dari penghormatan serupa ini, dimana wahyu dua kali diturunkan lantaran persoalan Ibnu Ummi Maktum; yang pertama merupakan teguran kepada Nabi saw, dan yang kedua ketentuan berperang bagi orang yang mampu dan yang berhalangan, termasuk diantaranya adalah Ibnu Ummi Maktum.

Namun demikian, Ibnu Ummi Maktum tetap kuat hasratnya untuk dapat berperang bersama barisan kaum mujahidin. Dia telah mengutarakan hasratnya ini hingga berkali-kali. Kata dia kepada sahabat-sahabat Rasulullah, “Serahkanlah panji kepadaku, karena sesungguhnya aku adalah seorang buta sehingga tidak akan dapat melarikan diri! Tempatkanlah aku di antara kedua pasukan!”

Sang sahabat mulia dan agung ini tidak berakhir hayatnya sebelum Allah mengabulkan hasrat hatinya tersebut. Pada saat perang Qadisiyah dia sebagai pembawa panji pasukan berwarna hitam. Dialah seorang buta pertama yang turut berperang dalam sejarah peperangan Islam.

Sejarah tadi tertunduk di hadapan perjalanan hidup laki-laki yang agung ini. Betapa sedikit dan jarang sekali seseorang tercatat demikian kehidupannya oleh sejarah.

Read More......

ABDURRAHMAN BIN 'AUF : Dermawan yang masuk syurga

Pada suatu hari, kota Madinah sedang aman dan tenteram,terlihat debu tebal yang mengepul ke udara, datang dari tempatketinggian di pinggir kota; debu itu semakin tinggi bergumpal-gumpai hingga hampir menutup ufuk pandangan mata. Anginyang bertiup menyebabkan gumpalan debu kuning dari butiran-butiran sahara yang lunak, terbawa menghampiri pintu-pintu kota, dan berhembus dengan kuatnya di jalan-jalan rayanya.

Orang banyak menyangkanya ada angin ribut yang menyapu dan menerbangkan pasir. Tetapi kemudian dari balik tirai debu itu segera mereka dengar suara hiruk pikuk, yang memberi tahu tibanya suatu iringan kafilah besar yang panjang. Tidak lama kemudian, sampailah 700 kendaraan yang sarat dengan muatannya memenuhi jalan-jalan kota Madinah dan menyibukkannya. Orang banyak saling memanggil dan menghimbau menyaksikan keramaian ini serta turut bergembira dan bersukacita dengan datangnya harta dan rizqi yang dibawa kafilah itu ...... Ummul Mu'minin Aisyah r.a. demi mendengar suara hiruk pikuk itu ia bertanya: "Apakah yang telah terjadi dikota Madinah…..?" Mendapat jawaban, bahwa kafilah Abdurrahman bin 'Auf barn datang dari Svam membawa barang-barang dagangannya . .. Kata Ummul Mu'minin lagi: -- "Kafilah yang telah menyebabkan semua kesibukan ini?" "Benar, ya Ummal Mu'minin ... karena ada 700 kendaraan...... !" Ummul Mu'minin menggeleng-gelengkan kepalanya, sembari melayangkan pandangnya jauh menembus, seolah-olah hendak mengingat-ingat kejadian yang pernah dilihat atau ucapan yang pernah didengarnya.

Kemudian katanya: "Ingat, aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: "K ulihat Abdurrahman bin'Auf masuk surga dengan perlahan-lahan!"Abdurrahman bin 'Auf masuk surga dengan perlahan-lahan... ? Kenapa ia tidak memasukinya dengan melompat atau berlari kencang bersama angkatan pertama para shahabat Rasul.. ? Sebagian shahabat menyampaikan ceritera Aisyah kepadanya, maka ia pun teringat pernah mendengar Nabi saw. Hadits ini lebih dari satu kali dan dengan susunan kata yangberbeda-beda.

Dan sebelum tali-temali perniagaannya dilepaskannya,ditujukannya langkah-langkahnya ke rumah Aisyah lain berkata kepadanya: "Anda telah mengingatkanku suatu Hadits yang tak pernah kulupakannya....".Kemudian ulasnyalagi: "Dengan ini aku mengharap dengan sangat agar anda menjadi saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut kendaraan dan perlengkapannya, ku persembahkan di jalan Allah 'azza wajalla.....!" Dan dibagikannyalah seluruh muatan 700 kendaraan itu kepada semua penduduk Madinah dan sekitarnya sebagai perbuatan baik yang maha besar .... Peristiwa yang satu ini saja, melukiskan gambaran yang sempurna tentang kehidupan shahabat Rasulullah, Abdurahman bin 'Auf. Dialah saudagar yang berhasil. Keberhasilan yang paling besar dan lebih sempurna! Dia pulalah orang yang kaya raya. Kekayaan yang paling banyak dan melimpah ruah ...! Dialah seorang Mu'min yang bijaksana yang tak sudi kehilangan bagian keuntungan dunianya oleh kawna keuntungan Agamanya, dan tidak suka harta benda kekayaannya meninggalkannya dari kafilah iman dan pahala surga. Maka dialah r.a. yang membaktikan harta kekayaannya dengan kedermawanan dan pemberian yang tidak terkira, dengan hati yang puas dan rela ... !

Kapan dan bagaimana masuknya orang besar ini ke dalam Islam? Ia masuk Islam sejak fajar menyingsing.... Ia telah memasukinya di saat-saat permulaan da'wah, yakni sebelum Rasulullah saw. memasuki rumah Arqam dan menjadikannya sebagai tempat pertemuan dengan para shahabatnya orang-orang Mu'min ... Dia adalah salah seorang dari delapan orang yang dahulu masuk Islam.. . . Abu, Bakar datang kepadanya menyampaikan Islam, begitu juga kepada Utsman bin 'Affan, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubedillah, dan Sa'ad bin Abi Waqqash. Makatak ada persoalan yang tertutup bagi mereka, dan tak ada keragu-raguan yang menjadi penghalang, bahkan mereka segera pergi bersama Abu Bakar Shiddiq menemui RasuIullah saw. menyatakan bai'at dan memikul bendera Islam....Dan semenjak keislamannya sampai berpulang menemui Tuhannya dalam umur tujuhpuluh lima tahun, ia menjadi teladan yang cemerlang sebagai Seorang Mu'min yang besar. Hal ini menyebabkan Nabi saw. memasukkannya dalam sepuluh orang Yang telah diberi kabar gembira sebagai ahli surga.

Dan Umar r.a. mengangkatnya pula sebagai anggota kelompok musyawarah yang berenam yang merupakan calon khalifah yang akan dipilih sebagai penggantinya, seraya katanya: "Rasulullah wafat dalam keadaan ridla kepada mereka!"

Segeralah Abdurrahman masuk Islam menyebabkannya menceritakan nasib malang berupa penganiayaan dan penindasan dari Quraisy .... Dan sewaktu Nabi saw., memerintahkan para shahabatnya hijrah ke Nabsyi, Ibnu 'Auf ikut berhijrah kemudian kembali lagi ke Mekah, lalu hijrah untuk kedua kalinya ke Habsyi dan kemudian hijrah ke Madinah . . . ikut bertempur di perang Badar, Uhud dan peperangan-peperangan lainnya.

Keberuntungannya dalam perniagaan sampai suatu batas yang membangkitkan dirinya pribadi ketakjuban dan keheranan, hingga katanya: "Sungguh, kulihat diriku, seandainya aku mengangkat batu niscaya kutemukan di bawahnya emas dan perak......!" Perniagaan bagi Abdurrahman bin 'Auf r.a. bukan berarti rakus dan loba .. Bukan pula suka menumpuk harta atau hidup mewah dan ria! Malah itu adalah suatu amal dan tugas kewajibanyang keberhasilannya akan menambah dekatnya jiwa kepada Allah dan berqurban di jalan-Nya ... ·

Dan Abdurrahman bin 'Auf seorang yang berwatak dinamis, kesenangannya dalam amal yang mulia di mana juga adanya ....Apabila ia tidak sedang shalat di mesjid, dan tidak sedang berjihad dalam mempertahankan Agama tentulah ia sedang mengurus perniagaannya yang berkembang pesat, kafilah-kafilahnya membawa ke Madinah dari Mesir dan Syria barang-barang muatan yang dapat memenuhi kebutuhan seluruh jazirah Arab berupa pakaian dan makanan .....

Dan watak dinamisnya ini terlihat sangat menonjol, ketika Kaum Muslimin hijrah ke Madinah ....Telah menjadi kebiasaan Rasul pada waktu itu untuk mempersaudarakan dua orang shahabat, salah seorang dari muhajirin warga Mekah dan yang lain dari Anshar penduduk Madinah. Persaudaraan ini mencapai kesempurnaannya dengan cara yang harmonis yang mempesonakan hati. Orang-orang Anshar penduduk Madinah membagi dua seluruh kekayaan miliknya dengan saudaranya orang muhajirin .. , sampai-sampai soal rumahtangga. Apabila ia beristeri dua orang diceraikannya yang seorang untuk memperisteri saudaranya ......!

Ketika itu Rasul yang mulia mempersaudarakan antara Abdurrahman bin 'Auf dengan Sa'ad bin Rabi'.... Dan marilah kita dengarkan shahabat yang mulia Anas bin Malik r.a. meriwayatkan kepada kita apa yang terjadi: " ... dan berkatalah Sa'ad kepada Abdurrahman: "Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang kaya raya, silakan pilih separoh hartaku dan ambillah! Dan aku mempunyai dua orang isteri, coba perhatikan yang lebih menarik perhatian anda, akan kuceraikan ia hingga anda dapat memperisterinya......!

Jawab Abdurrahman bin 'Auf: "Moga-moga Allah memberkati anda, isteri dan harta anda ! Tunjukkanlah letaknya pasar agar aku dapat berniaga....! Abdurrahman pergi ke pasar, dan berjual belilah di sana.......ia pun beroleh keuntungan ...!

Kehidupan Abdurrahman bin 'Auf di Madinah baik semasa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam maupun sesudah wafatnya terus meningkat · · · Barang apa Saja yang ia pegang dan dijadikannya pokok perniagaan pasti menguntungkannya. Seluruh usahanya ini ditujukan untuk mencapai ridla Allah semata, sebagai bekal di alam baqa kelak.....! Yang menjadikan perniagaannya berhasil dan beroleh berkat karena ia selalu bermodal dan berniaga barang yang halal dan menjauhkan diri dari perbuatan haram bahkan yang syubhat Seterusnya yang menambah kejayaan dan diperolehnya berkat, karena labanya bukan untuk Abdurrahman sendiri . · · tapi di dalamnya terdapat bagian Allah yang ia penuhi dengan setepat-tepatnya, pula digunakannya untuk memperkokoh hubungan kekeluargaan serta membiayai sanak saudaranya, serta menyediakan perlengkapan yang diperlukan tentara Islam ..... Bila jumlah modal niaga dan harta kekayaan yang lainnya ditambah keuntungannya yang diperolehnya, maka jumlah kekayaan Abdurrahman bin 'Auf itu dapat dikira-kirakan apabila kita memperhatikan nilai dan jumlah yang dibelanjakannya pada jalan Allah Rabbul'alamin! Pada suatu hati ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: "Wahai ibnu 'Auf! anda termasuh golongan orang kaya dan anda akan masuk surga secara perlahan-lahan....! Pinjamkanlah kekayaan itu kepada Allah, pasti Allah mempermudah langkah anda....!" Semenjak ia mendengar nasihat Rasulullah ini dan ia menyediakan bagi AIlah pinjaman yang balk, maka Allah pun memberi ganjaran kepadanya dengan berlipat ganda.

Di suatu hari ia menjual tanah seharga 40 ribu dinar, kemudian uang itu dibagi-bagikannya semua untuk keluarganya dari Bani Zuhrah, untuk para isteri Nabi dan untuk kaum fakir miskin.

Diserahkannya pada suatu hari limaratus ekor kuda untuk perlengkapan balatentara islam ...dan di hari yang lain seribu limaratus kendaraan. Menjelang wafatnya ia berwasiat lima puluh ribu dinar untuk jalan Allah, lain diwasiatkannya pula bagi setiap orang yang ikut perang Badar dan masih hidup, masing-masing empat ratus dinar, hingga Utsman bin Affan r.a. yang terbilang kaya juga mengambil bagiannya dari wasiat itu, serta katanya:"Harta Abdurrahman bin 'Auf halal lagi bersih, dan memakan harta itu membawa selamat dan berkat".

Read More......

Imam Al - Ghazali

Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad, dilahirkan pada tahun 450 H/ 1059 di Thus daerah Khurasan. Ia dikenal dengan Al - Ghazali karena ayahnya pemintal tenun wol atau karena ia berasal dari desa Ghazalah. Beliau wafat pada tahun 505 H / 1111.

Pendidikannya dimulai didaerahnya yaitu belajar kepada Ahmad Ibnu Muhammad al - Razkani al - Thusi, setelah itu pindah ke Jurjan ke pendidikan yang dipimpin oleh Abu Nash al-Ismaili mempelajari semua bidang agama dan bahasa, setelah tamat kembali ke Thus belajar tasawuf dengan Syekh Yusuf al - Nassaj (wafat 487 H) , kemudian ke Nisyapur belajar kepada Abul Ma'al al-Juwaini yang bergelar Imam al - Haramain dan melanjutkan pelajaran Tasawuf kepada Syekh Abu Ali al - Fadhl Ibnu Muhammad Ibnu Ali al - Farmadi, dan ia mulai mengajar dan menulis dalam Ilmu Fiqh.

Setelah Imam al - Juwaini wafat ia pindah ke Mu'askar mengikuti berbagai forum diskusi dan seminar kalangan ulama dan intelektual dan dengan segala kecermelangannya membawanya menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah di Baghdad pada tahun 484 H, disamping memberikan kuliah, ia juga mengkaji filsafat Yunani dan filsafat Islam. Kecermelangan, keharuman namanya dan...
kesenangan duniawi yang melimpah ruah di Baghdad melebihi ketika ia di Mu'askar, dikota ini ia sakit dan secara tiba-tiba meninggalkan Baghdad mengundurkan diri dari kegemerlapan duniawi tersebut.

Mulai th 488 H/ 1095 ia ke Damaskus. di Masjid Umawi ia ber'itiqaf dan berzikir dipuncak menara sebelah barat sepanjang hari dengan makan dan minum yang terbatas. Ia memasuki suluk sufi dengan riyadhah dan mujahadah terus menerus seperti itu selama 2 tahun di Damaskus. Setelah itu pergi ke Baitul Maqdis di Palestina, setiap hari ia masuk Qubbah Shahrah untuk berzikir, ia juga ke al - Khalil berziarah ke makam Nabi Ibrahim as. Setelah dari Palestina, ia melaksanakan ibadah haji di Mekkah dan berziarah ke makam Rasullulah di Madinah.

Ia pernah kembali ke Baghdad untuk mengajar di Perguruan Nidzamiyah Baghdad, namum tidak berapa lama kemudian kembali ke Thus dan mendirikan khanaqah untuk para sufi dan mendirikan madrasah untuk mengajar ilmu Tasawuf.

Karya - karya tulis Al-Ghazali meliputi berbagai bidang keislaman, Kalam, Fiqh, Filsafat, Tasawuf dan lain lainnya yang berbentuk buku maupun risalah.

Kitab kitab Al -Ghazali yang membahas tentang Tasawuf :

Mizan al - 'Amal
Al - Ma'arif al-Aqliah wa Lubab al - Hikmah al - Ilahiyah
Ihya 'Ulumiddin
Al - Maqshad al - Astna Fi Syarh Asma al - Husna
Bidayat al - Hidayah
Al - Madhnun Bih 'ala Ghairi Ahlil
Kaimiya al - Sa'adah
Misykat al - Anwar
Al - Kasyf Wa al - Tabyin Fi Ghurur al - Naas Ajma'in
Al - Munqidz Min al - Dhalal
Al - Durrat al Fakhirah Fi Kasyf 'Ulumi al - Akhirah
Minhaj al - 'Abidin Ila Jannati Rabbi al - 'Alamin
Al - Arba'in Fi Ushul al - Din
Tasawuf Al - Ghazali menghimpun akidah, syariat dan akhlak dalam suatu sistematika yang kuat dan amat berbobot, karena teori - teori tasawufnya lahir dari kajian dan pengalaman pribadi setelah melaksanakan suluk dalam riyadhah dan mujahadah yang intensif dan berkesinambungan, sehingga dapat dikatakan bahwa seumur hidupnya ia bertasawuf.

Dalam pandangannya, Ilmu Tasawuf mengandung 2 bagian penting, pertama menyangkut ilmu mu'amalah dan bagian kedua menyangkut ilmu mukasyafah, hal ini diuraikan dalam karyanya Ihya 'Ulumiddin, Al -Ghazali menyusun menjadi 4 bab utama dan masing-masing dibagi lagi kedalam 10 pasal yaitu :

Bab pertama : tentang ibadah (rubu' al - ibadah)
Bab kedua : tentang adat istiadat (rubu' al - adat)
Bab ketiga : tentang hal -hal yang mencelakakan (rubu' al - muhlikat)
Bab keempat : tentang maqamat dan ahwal (rubu' al - munjiyat)
Menurutnya, perjalanan tasawuf itu pada hakekatnya adalah pembersihan diri dan pembeningan hati terus menerus sehingga mampu mencapai musyahadah. Oleh karena itu ia menekankan pentingnya pelatihan jiwa, penempaan moral atau akhlak yang terpuji baik disisi manusia maupun Tuhan.
Imam Al -Ghazali yang bergelar Hujjatul Islam meninggal dikota kelahirannya Thus pada hari Senin 14 Jumadil Akhir 505 H.

Read More......

Imam Abu Dawud

Setelah Imam Bukhari dan Imam Muslim, kini giliran Imam Abu Dawud yang juga merupakan tokoh kenamaan ahli hadits pada jamannya. Kealiman, kesalihan dan kemuliaannya semerbak mewangi hingga kini.

Nama Lengkap dan Tahun Kelahirannya:

Abu Dawud nama lengkapnya ialah Sulaiman bin al-Asy'as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin 'Amr al-Azdi as-Sijistani, seorang imam ahli hadits yang sangat teliti, tokoh terkemuka para ahli hadits setelah dua imam hadits Bukhari dan Muslim serta pengarang kitab Sunan. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.

Perkembangan dan Perlawatannya

Sejak kecilnya Abu Dawud sudah mencintai ilmu dan para ulama, bergaul dengan mereka untuk dapat mereguk dan menimba ilmunya.
Belum lagi mencapai usia dewasa, ia telah mempersiapkan dirinya untuk mengadakan perlawatan, mengelilingi berbagai negeri. Ia belajar hadits dari para ulama yang tidak sedikit jumlahnya, yang dijumpainya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri-negeri lain. Perlawatannya ke berbagai negeri ini membantu dia untuk memperoleh pengetahuan luas tentang hadits, kemudian hadits-hadits yang diperolehnya itu disaring dan hasil penyaringannya dituangkan dalam kitab As-Sunan. Abu Dawud mengunjungi Baghdad berkali-kali. Di sana ia mengajarkan hadits dan fiqh kepada para penduduk dengan memakai kitab Sunan sebagai pegangannya. Kitab Sunan karyanya itu diperlihatkannya kepada tokoh ulama hadits, Ahmad bin Hanbal. Dengan bangga Imam Ahmad memujinya sebagai kitab yang sangat indah dan baik.

Kemudian Abu Dawud menetap di Basrah atas permintaan gubernur setempat yang menghendaki supaya Basrah menjadi "Ka'bah" bagi para ilmuwan dan peminat hadits.

Guru-gurunya

Para ulama yang menjadi guru Imam Abu Dawud banyak jumlahnya. Di antaranya guru-guru yang paling terkemuka ialah Ahmad bin Hanbal, al-Qa'nabi, Abu 'Amr ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raja', Abu'l Walid at-Tayalisi dan lain-lain. Sebagian gurunya ada pula yang menjadi guru Imam Bukhari dan Imam Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abi Syaibah dan Qutaibah bin Sa'id.





Murid-muridnya (Para Ulama yang Mewarisi Haditsnya)

Ulama-ulama yang mewarisi haditsnya dan mengambil ilmunya, antara lain Abu 'Isa at-Tirmizi, Abu Abdur Rahman an-Nasa'i, putranya sendiri Abu Bakar bin Abu Dawud, Abu Awanah, Abu Sa'id al-A'rabi, Abu Ali al-Lu'lu'i, Abu Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa'id al-Jaldawi dan lain-lain.

Cukuplah sebagai bukti pentingnya Abu Dawud, bahwa salah seorang gurunya, Ahmad bin Hanbal pernah meriwayatkan dan menulis sebuah hadits yang diterima dari padanya. Hadits tersebut ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Hammad bin Salamah dari Abu Ma'syar ad-Darami, dari ayahnya, sebagai berikut: "Rasulullah SAW. ditanya tentang 'atirah, maka ia menilainya baik."

Akhlak dan Sifat-sifatnya yang Terpuji

Abu Dawud adalah salah seorang ulama yang mengamalkan ilmunya dan mencapai derajat tinggi dalam ibadah, kesucian diri, wara' dan kesalehannya. Ia adalah seorang sosok manusia utama yang patut diteladani perilaku, ketenangan jiwa dan kepribadiannya. Sifat-sifat Abu Dawud ini telah diungkapkan oleh sebagian ulama yang menyatakan: Abu Dawud menyerupai Ahmad bin Hanbal dalam perilakunya, ketenangan jiwa dan kebagusan pandangannya serta kepribadiannya. Ahmad dalam sifat-sifat ini menyerupai Waki', Waki menyerupai Sufyan as-Sauri, Sufyan menyerupai Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha'i, Ibrahim menyerupai 'Alqamah dan ia menyerupai Ibn Mas'ud. Sedangkan Ibn Mas'ud sendiri menyerupai Nabi SAW. dalam sifat-sifat tersebut. Sifat dan kepribadian yang mulia seperti ini menunjukkan aatas kesempurnaan keberagamaan, tingkah laku dan akhlak.

Abu Dawud mempunyai pandangan dan falsafah sendiri dalam cara berpakaian. Salah satu lengan bajunya lebar namun yang satunya lebih kecil dan sempit. Seseorang yang melihatnya bertanya tentang kenyentrikan ini, ia menjawab: "Lengan baju yang lebar ini digunakan untuk membawa kitab-kitab, sedang yang satunya lagi tidak diperlukan. Jadi, kalau dibuat lebar, hanyalah berlebih-lebihan.

Pujian Para Ulama Kepadanya

Abu Dawud adalah juga merupakan "bendera Islam" dan seorang hafiz yang sempurna, ahli fiqh dan berpengetahuan luas terhadap hadits dan ilat-ilatnya. Ia memperoleh penghargaan dan pujian dari para ulama, terutama dari gurunya sendiri, Ahmad bin Hanbal. Al-Hafiz Musa bin Harun berkata mengenai Abu Dawud: "Abu Dawud diciptakan di dunia hanya untuk hadits, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak melihat orang yang lebih utama melebihi dia." Sahal bin Abdullah At-Tistari, seorang yang alim mengunjungi Abu Dawud. Lalu dikatakan kepadanya: "Ini adalah Sahal, dating berkunjung kepada tuan." Abu Dawud pun menyambutnya dengan hormat dan mempersilahkan duduk. Kemudian Sahal berkata: "Wahai Abu Dawud, saya ada keperluan keadamu." Ia bertanya: "Keperluan apa?" "Ya, akan saya utarakan nanti, asalkan engkau berjanji akan memenuhinya sedapat mungkin," jawab Sahal. "Ya, aku penuhi maksudmu selama aku mampu," tandan Abu Dawud. Lalu Sahal berkata: "Jujurkanlah lidahmu yang engkau pergunakan untuk meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. sehingga aku dapat menciumnya." Abu Dawud pun lalu menjulurkan lidahnya yang kemudian dicium oleh Sahal.

Ketika Abu Dawud menyusun kitab Sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang ulama ahli hadits berkata: "Hadits telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan bagi Nabi Dawud." Ungkapan ini adalah kata-kata simbolik dan perumpamaan yang menunjukkan atas keutamaan dan keunggulan seseorang di bidang penyusunan hadits. Ia telah mempermudah yang sulit, mendekatkan yang jauh dan memudahkan yang masih rumit dan pelik.

Abu Bakar al-Khallal, ahli hadits dan fiqh terkemuka yang bermadzhab Hanbali, menggambarkan Abu Dawud sebagai berikut; Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'as, imam terkemuka pada jamannya adalah seorang tokoh yang telah menggali beberapa bidang ilmu dan mengetahui tempat-tempatnya, dan tiada seorang pun pada masanya yang dapat mendahului atau menandinginya. Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah senantiasa menyinggung-nyingung Abu Dawud karena ketinggian derajatnya, dan selalu menyebut-nyebutnya dengan pujian yang tidak pernah mereka berikan kepada siapa pun pada masanya.

Madzhab Fiqh Abu Dawud

Syaikh Abu Ishaq asy-Syairazi dalam asy-Syairazi dalam Tabaqatul-Fuqaha-nya menggolongkan Abu Dawud ke dalam kelompok murid-murid Imam Ahmad. Demikian juga Qadi Abu'l-Husain Muhammad bin al-Qadi Abu Ya'la (wafat 526 H) dalam Tabaqatul-Hanabilah-nya. Penilaian ini nampaknya disebabkan oleh Imam Ahmad merupakan gurunya yang istimewa. Menurut satu pendapat, Abu Dawud adalah bermadzhab Syafi'i.

Menurut pendapat yang lain, ia adalah seorang mujtahid sebagaimana dapat dilihat pada gaya susunan dan sistematika Sunan-nya. Terlebih lagi bahwa kemampuan berijtihad merupakan salah satu sifat khas para imam hadits pada masa-masa awal.

Memandang Tinggi Kedudukan Ilmu dan Ulama

Sikap Abu Dawud yang memandang tinggi terhadap kedudukan ilmu dan ulama ini dapat dilihat pada kisah berikut sebagaimana dituturkan, dengan sanad lengkap, oleh Imam al-Khattabi, dari Abu Bakar bin Jabir, pembantu Abu Dawud. Ia berkata: "Aku bersama Abu Dawud tinggi di Baghdad. Pada suatu waktu, ketika kami selesai menunaikan shalat Maghrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu pintu aku buka dan seorang pelayan melaporkan bahwa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq mohon ijin untuk masuk. Kemudian aku melapor kepada Abu Dawud tentang tamu ini, dan ia pun mengijinkan. Sang Amir pun masuk, lalu duduk. Tak lama kemudian Abu Dawud menemuinya seraya berkata: "Gerangan apakah yang membawamu datang ke sini pada saat seperti ini?" "Tiga kepentingan," jawab Amir. "Kepentingan apa?" tanyanya. Amir menjelaskan, "Hendaknya tuan berpindah ke Basrah dan menetap di sana, supaya para penuntut ilmu dari berbagai penjuru dunia dating belajar kepada tuan; dengan demikian Basrah akan makmur kembali. Ini mengingat bahwa Basrah telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedy Zenji." Abu Dawud berkata: "Itu yang pertama, sebutkan yang kedua!" "Hendaknya tuan berkenan mengajarkan kitab Sunan kepada putra-putraku," kata Amir. "Ya, ketiga?" Tanya Abu Dawud kembali. Amir menerangkan: "Hendaknya tuan mengadakan majelis tersendiri untuk mengajarkan hadits kepada putra-putra khalifah, sebab mereka tidak mau duduk bersama-sama dengan orang umum." Abu Dawud menjawab: "Permintaan ketiga tidak dapat aku penuhi; sebab manusia itu baik pejabat terhormat maupun rakyat melarat, dalam bidang ilmu sama." Ibn Jabir menjelaskan: "Maka sejak itu putra-putra khalifah hadir dan duduk bersama di majelis taklim; hanya saja di antara mereka dengan orang umum di pasang tirai, dengan demikian mereka dapat belajar bersama-sama."

Maka hendaknya para ulama tidak mendatangi para raja dan penguasa, tetapi merekalah yang harus dating kepada para ulama. Dan kesamaan derajat dalam ilmu dan pengetahuan ini, hendaklah dikembangkan apa yang telah dilakukan Abu Dawud tersebut.

Tanggal Wafatnya

Setelah mengalami kehidupan penuh berkat yang diisi dengan aktivitas ilmia, menghimpun dan menyebarluaskan hadits, Abu Dawud meninggal dunia di Basrah yang dijadikannya sebagai tempat tinggal atas permintaan Amir sebagaimana telah diceritakan. Ia wafat pada tanggal 16 Syawwal 275 H/889M. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepadanya.

Karya-karyanya

Imam Abu Dawud banyak memiliki karya, antara lain:

Kitab AS-Sunnan (Sunan Abu Dawud).
Kitab Al-Marasil.
Kitab Al-Qadar.
An-Nasikh wal-Mansukh.
Fada'il al-A'mal.
Kitab Az-Zuhd.
Dala'il an-Nubuwah.
Ibtida' al-Wahyu.
Ahbar al-Khawarij.


Di antara karya-karya tersebut yang paling bernilai tinggi dan masih tetap beredar adalah kitab Amerika Serikat-Sunnan, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Abi Dawud.

Kitab Sunan Karya Abu Dawud

Metode Abu Dawud dalam Penyusunan Sunan-nya

Karya-karya di bidang hadits, kitab-kitab Jami' Musnad dan sebagainya disamping berisi hadits-hadits hokum, juga memuat hadits-hadits yang berkenaan dengan amal-amal yang terpuji (fada'il a'mal) kisah-kisah, nasehat-nasehat (mawa'iz), adab dan tafsir. Cara demikian tetap berlangsung sampai datang Abu Dawud. Maka Abu Dawud menyusun kitabnya, khusus hanya memuat hadits-hadits hukum dan sunnah-sunnah yang menyangkut hukum. Ketika selesai menyusun kitabnya itu kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Hanbal memujinya sebagai kitab yang indah dan baik.

Abu Dawud dalam sunannya tidak hanya mencantumkan hadits-hadits sahih semata sebagaimana yang telah dilakukan Imam Bukhari dan Imam Muslim, tetapi ia memasukkan pula kedalamnya hadits sahih, hadits hasan, hadits dha'if yang tidak terlalu lemah dan hadits yang tidak disepakati oleh para imam untuk ditinggalkannya. Hadits-hadits yang sangat lemah, ia jelaskan kelemahannya.

Cara yang ditempuh dalam kitabnya itu dapat diketahui dari suratnya yang ia kirimkan kepada penduduk Makkah sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan mereka mengenai kitab Sunannya. Abu Dawud menulis sbb:
"Aku mendengar dan menulis hadits Rasulullah SAW sebanyak 500.000 buah. Dari jumlah itu, aku seleksi sebanyak 4.800 hadits yang kemudian aku tuangkan dalam kitab Sunan ini. Dalam kitab tersebut aku himpun hadits-hadits sahih, semi sahih dan yang mendekati sahih. Dalam kitab itu aku tidak mencantumkan sebuah hadits pun yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan. Segala hadits yang mengandung kelemahan yang sangat kujelaskan, sebagai hadits macam ini ada hadits yang tidak sahih sanadnya. Adapun hadits yang tidak kami beri penjelasan sedikit pun, maka hadits tersebut bernilai salih (bias dipakai alasan, dalil), dan sebagian dari hadits yang sahih ini ada yang lebih sahih daripada yang lain. Kami tidak mengetahui sebuah kitab, sesudah Qur'an, yang harus dipelajari selain daripada kitab ini. Empat buah hadits saja dari kitab ini sudah cukup menjadi pegangan bagi keberagaman tiap orang. Hadits tersebut adalah, yang artinya:

Pertama:
"Segala amal itu hanyalah menurut niatnya, dan tiap-tiap or memperoleh apa yang ia niatkan. Karena itu maka barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya pula. Dan barang siapa hijrahnya karena untuk mendapatkan dunia atau karena perempuan yang ingin dikawininya, maka hijrahnya hanyalah kepada apa yang dia hijrah kepadanya itu."

Kedua:
"Termasuk kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak berguna baginya."

Ketiga:
"Tidaklah seseorang beriman menjadi mukmin sejati sebelum ia merelakan untuk saudaranya apa-apa yang ia rela untuk dirinya."

Keempat:
"Yang halal itu sudah jelas, dan yang harampun telah jelas pula. Di antara keduanya terdapat hal-hal syubhat (atau samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa menghindari syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatan dirinya; dan barang siapa terjerumus ke dalam syubhat, maka ia telah terjerumus ke dalam perbuatan haram, ibarat penggembala yang menggembalakan ternaknya di dekat tempat terlarang.
Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa itu mempunyai larangan. Ketahuilah, sesungguhnya larangan Allah adalah segala yang diharamkan-Nya. Ingatlah, di dalam rumah ini terdapat sepotong daging, jika ia baik, maka baik pulalah semua tubuh dan jika rusak maka rusak pula seluruh tubuh. Ingatlah, ia itu hati."

Demikianlah penegasan Abu Dawud dalam suratnya.
Perkataan Abu Dawud itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Hadits pertama adalah ajaran tentang niat dan keikhlasan yang merupakan asas utama bagi semua amal perbuatan diniah dan duniawiah.
Hadits kedua merupakan tuntunan dan dorongan bagi ummat Islam agar selalu melakukan setiap yang bermanfaat bagi agama dan dunia.
Hadits ketiga, mengatur tentang hak-hak keluarga dan tetangga, berlaku baik dalam pergaulan dengan orang lain, meninggalkan sifat-sifat egoistis, dan membuang sifat iri, dengki dan benci, dari hati masing-masing.
Hadits keempat merupakan dasar utama bagi pengetahuan tentang halal haram, serta cara memperoleh atau mencapai sifat wara', yaitu dengan cara menjauhi hal-hal musykil yang samar dan masih dipertentangkan status hukumnya oleh para ulama, karena untuk menganggap enteng melakukan haram.
Dengan hadits ini nyatalah bahwa keempat hadits di atas, secara umum, telah cukup untuk membawa dan menciptakan kebahagiaan.

Komentar Para Ulama Mengenai Kedudukan Kitab Sunan Abu Dawud

Tidak sedikit ulama yang memuji kitab Sunan ini. Hujatul Islam, Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata: "Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid untuk mengetahui hadits-hadits ahkam." Demikian juga dua imam besar, An-Nawawi dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah memberikan pujian terhadap kitab Sunan ini bahkan beliau menjadikan kitab ini sebagai pegangan utama di dalam pengambilan hokum.

Hadits-hadits Sunan Abu Dawud yang Dikritik

Imam Al-Hafiz Ibnul Jauzi telah mengkritik beberapa hadits yang dicantumkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan memandangnya sebagai hadits-hadits maudu' (palsu). Jumlah hadits tersebut sebanyak 9 buah hadits. Walaupun demikian, disamping Ibnul Jauzi itu dikenal sebagai ulama yang terlalu mudah memvonis "palsu", namun kritik-kritik telah ditanggapi dan sekaligus dibantah oleh sebagian ahli hadits, seperti Jalaluddin Amerika Serikat-Suyuti. Dan andaikata kita menerima kritik yang dilontarkan Ibnul Jauzi tersebut, maka sebenarnya hadits-hadits yang dikritiknya itu sedikit sekali jumlahnya, dan hampir tidak ada pengaruhnya terhadap ribuan hadits yang terkandung di dalam kitab Sunan tersebut. Karena itu kami melihat bahwa hadits-hadits yang dikritik tersebut tidak mengurangi sedikit pun juga nilai kitab Sunan sebagai referensi utama yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahanya.

Jumlah Hadits Sunan Abu Dawud

Di atas telah disebutkan bahwa isi Sunan Abu Dawud itu memuat hadits sebanyak 4.800 buah hadits. Namun sebagian ulama ada yang menghitungnya sebanyak 5.274 buah hadits. Perbedaan jumlah ini disebabkan bahwa sebagian orang yang menghitungnya memandang sebuah hadits yang diulang-ulang sebagai satu hadits, namun yang lain menganggapnya sebagai dua hadits atau lebih. Dua jalan periwayatan hadits atau lebih ini telah dikenal di kalangan ahli hadits.

Abu Dawud membagi kitab Sunannya menjadi beberapa kitab, dan tiap-tiap kitab dibagi pula ke dalam beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah, di antaranya ada 3 kitab yang tidak dibagi ke dalam bab-bab. Sedangkan jumlah bab sebanyak 1.871 buah bab. (Ahmad Diar)

Read More......

Tuesday, June 9, 2009

IMAM MAWARDI

Imam Mawardi adalah seorang ulamak berbangsa Arab lagi faqeh dan tergolong di kalangan ulamak feqh bermazhab Syafie yang terulung. Beliau juga dianggap sebagai salah seorang daripada pemikir Islam dan tokoh politik yang paling menonjol semasa pemerintahan kerajaan Abbasiah.

Nama beliau yang sebenarnya ialah Abu Hassan Ali bin Muhammad bin Habib Mawardi al-Basriyi as-Syafie. Nasab nama beliau dinisbahkan kepada nama Mawardi kerana bapanya seorang penjual air mawar (مَاءُ الْوَرْدِ). Di dalam kitab صبح الأعشى jilid 6 halaman 243, disebutkan ulamak-ulamak yang menukilkan perjalanan hidup beliau berpendapat umur Imam Mawardi ialah 86 tahun.

Beliau dilahirkan di Basrah pada tahun..
364 Hijrah. Ketika itu, kerajaan Abbasiah sedang berada di puncak ketinggian dalam segi keilmuan dan kemajuan pengetahuan Islam. Beliau wafat pada hari Selasa bulan Rabiul Awal tahun 450 Hijrah. Jenazah beliau disembahyangkan oleh Khatib Baghdadi, para ulamak dan pembesar kerajaan di masjid Madinah. Dinukilkan bahawa kewafatan beliau ialah selama 11 hari selepas wafatnya Abu Taib Tabari.

Beliau mempunyai seorang saudara lelaki yang tinggal di Basrah. Keduanya saling berutusan surat untuk bertanyakan tentang hal masing-masing. Pada suatu hari, saudara beliau telah mengutus surat dari Basrah kepada beliau yang pada masa itu tinggal di kota Baghdad. Dalam surat itu, saudara beliau telah menulis sebuah syair:

Kenyamanan udara kota Baghdad yang merindukanku,
Pergi mengunjunginya biarpun kemampuanku terbatas,
Betapakah kesabaranku kini padanya bila kan bertemu,
Dua kenyamanan udara berpanjangan dan berlalu amat singkat.

Dalam kitab أدب القاضي jilid 1 halaman 22, dinyatakan beliau berasal dari sebuah keluarga yang sememangnya sangat mementingkan ilmu pengetahuan. Keluarga beliau sentiasa mengambil berat tentang pendidikannya dan pengajiannya. Selepas itu, beliau melanjutkan pelajaran di kota Baghdad untuk meluaskan pengajian di dalam bidang keilmuan.

Pada peringkat awalnya, semasa menuntut ilmu di Basrah, beliau mendapat bimbingan daripada Abu Qasim Syaumiri, iaitu seorang ulamak yang terkenal di Basrah pada masa itu. Kemudian beliau berhijrah ke kota Baghdad dan tinggal di sana untuk mendapatkan tunjuk ajar daripada Imam Za’farani. Di sana beliau belajar hadis dan mengambil ilmu feqh. Beliau juga berguru dengan Abu Hamid Isfaraini untuk melengkapkan keilmuannya.

Apabila telah mencapai satu taraf yang berkebolehan dan mempunyai ketokohan yang berketrampilan, beliau dibenarkan untuk mengajar ilmu pengetahuan yang telah dipelajari di kota Basrah dan Baghdad. Beliau juga berpindah ke bandar-bandar lain semata-mata untuk menyebarkan ilmu pengetahuan agamanya sehinggalah beliau dilantik menjadi sebagai seorang qadhi di beberapa buah bandar. Tetapi akhirnya, beliau mengambil keputusan untuk menetap di kota Baghdad untuk selama beberapa tahun.

Di sana, beliau telah mengajar ilmu hadis, mentafsirkan al-Qur’an dan mengarang beberapa buah kitab. Kitab karangannya yang banyak menunjukkan beliau sememangnya alim dalam bidang ilmu hadis, feqh, sastera, nahu, falsafah, ilmu kemasyarakatan, politik dan ilmu akhlak.

Beliau digelar sebagai qadhil qudhat (ketua para hakim) pada tahun 429 Hijrah sehingga sebahagian daripada ahli-ahli feqh pada masa itu tidak bersetuju beliau digelarkan dengan nama itu. Mereka mengatakan, tidak ada seorang pun yang layak untuk dinamakan dengan gelaran itu. Walaupun begitu, beliau tetap dipanggil dengan gelaran tersebut oleh sebahagian ulamak-ulamak pada masa itu. Buktinya, gelaran itu masih lagi dikaitkan dengan nama beliau sehinggalah beliau wafat. Bahkan, gelaran itu masih lagi termuat dalam kitab-kitab ulamak mutaakhirin, juga di dalam risalah-risalah pengkaji keilmuan.

Di sepanjang beliau memegang jawatan sebagai qadhi, beliau dapat mengetahui tentang perjalanan kehidupan seharian orang-orang awam pada zamannya secara dekat. Beliau juga dapat menyelami dan memutuskan perkara-perkara adat kebiasaan seharian untuk disesuaikan dengan panduan syarak. Daripada jawatan qadhi, beliau telah dinaikkan taraf kedudukannya di dalam tugas-tugas pentadbiran yang lebih tinggi. Di dalam jawatan barunya itu, beliau dapat mendekati pemimpin-pemimpin politik dan tokoh-tokoh pembesar kerajaan.

Di dalam kesempatan yang diberikan itu, beliau dapat memberikan sedikit sebanyak tunjuk ajar kepada pihak atasan di dalam peranannya untuk mengislah pentadbiran politik pada masa itu bersesuaian dengan undang-undang Islam. Daripada pengalaman beliau ini, kita dapat tahu beliau bolehlah dianggap sebagai seorang pemikir Islam yang dapat mengubah struktur pentadbiran politik pada masa itu, sekaligus menjadi bukti bahawa seorang pejuang kebenaran tidak seharusnya membiarkan pentadbiran sesebuah kerajaan digelumangi dengan percaturan politik yang tidak berlandaskan kepada panduan undang-undang Ilahi.

Akhlak dan Sifat Peribadinya:

Imam Mawardi sentiasa beriltizam dan beristiqamah sepanjang menghayati segala aktiviti serta gerak kerja kehidupan sehariannya. Beliau sentiasa mengarang dan menulis. Dengan itu, peribadinya sentiasa sesuai dengan kedudukan keilmuannya dan ketinggian keilmuannya.

Beliau juga terkenal sebagai seorang yang sangat dipercayai kebenarannya di kalangan ahli-ahli feqh bermazhab Syafie, seorang yang mulia dan tinggi kedudukannya di kalangan ulamak. Beliau mempunyai fikiran dan pandangan yang terbuka dalam bermazhab dan sentiasa mendalami di dalam setiap ilmu kajiannya. Beliau juga seorang yang lemah lembut, sopan dan tersangat hebat dari segi keilmuannya. Oleh itu, beliau sangat disenangi oleh pemerintah pada masa itu sehingga beliau sendiri mendapat tempat istimewa di hadapan khalifah.

Beliaulah yang sentiasa menjadi orang tengah dengan memberikan jalan penyelesaian sekiranya berlaku beberapa perselisihan pendapat di antara pembesar-pembesar kerajaan, khalifah dan rakyat. Beliau sangat mengambil berat tentang masalah mencari kebahagiaan di dunia dan di akhirat untuk dinikmati oleh umum. Oleh itu, beliau mengarang kitab (أدب الدنيا والدين), di mana di dalamnya terkandung beberapa manhaj untuk mengislah individu dan rakyat keseluruhannya.

Beliau juga terkenal sebagai seorang yang berani untuk menegakkan hak dan kebenaran agama, walaupun beliau berada di kalangan pembesar-pembesar negeri. Dalam satu peristiwa yang berlaku pada tahun 426 Hijrah semasa bulan Ramadhan, khalifah telah memerintahkan agar ditambah شاهين شاه الأعظم atau مالك الملوك pada nama Jalalud Daulah ibn Buwaih. Tidak lama selepas itu, khalifah telah memanggil Jalalud Daulah dengan gelaran itu. Sebahagian ahli feqh pada masa itu melarang penggunaan gelaran itu, lantaran gelaran itu hanya layak untuk Allah SWT sahaja.

Syaimiri memberikan fatwa, penggunaan nama Malikul Muluk adalah bergantung kepada qasad dan niat seseorang. Begitu juga fatwa yang dikeluarkan oleh Abu Taib Tabari, menyebut gelaran Malikul Muluk semata-mata adalah diharuskan. Gelaran ini boleh dimaknakan sebagai raja bagi segala raja-raja di bumi. Seterusnya, beliau memberikan penjelasan, sekiranya seseorang itu boleh dipanggil dengan gelaran qadhi qudhat, gelaran Malikul Muluk juga diharuskan penggunaannya. Pendapat Abu Taib Tabari juga mendapat sokongan daripada Tamimi, salah seorang ulamak bermazhab Hanbali.

Akan tetapi, Imam Mawardi tetap bertegas dengan fatwanya yang mengatakan penggunaan gelaran Malikul Muluk adalah dilarang sama sekali. Sebagaimana yang disebutkan sebelum ini, Imam Mawardi adalah di antara orang yang terkenal di kalangan pembesar-pembesar Jalalud Daulah. Selepas Imam Mawardi memberikan fatwa penggunaan gelaran Malikul Muluk dilarang, beliau telah memutuskan hubungan dengan pembesar-pembesar negara. Apabila Jalalud Daulah mengetahui keadaan yang sebenarnya, beliau pun memanggil Imam Mawardi datang ke istana beliau. Imam Mawardi datang dengan rasa serba salah, lantas Jalalud Daulah berkata kepada beliau, “Beta sekarang telah mengetahui keadaan yang sebenarnya. Sekiranya kamu memberikan sesuatu kepada seseorang, nescaya kamu juga memberikannya kepada beta, kerana hubungan yang rapat antara kamu dengan beta. Kamu tidak akan membuat sebarang tindakan dan memberikan fatwa sesuatu kecuali kerana menegakkan agama. Oleh yang demikian, mulai dari sekarang kedudukan kamu akan menjadi lebih tinggi dari sebelum ini di kalangan pembesar-pembesar negara.”

Sebagaimana apa yang telah difatwakan oleh Qadhi Abu Taib Tabari di atas adalah mengikut qias ilmu feqh, sementara fatwa yang telah dikeluarkan oleh Imam Mawardi adalah berdasarkan kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA sebagaimana Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud, “Nama seseorang yang paling hina sekali pada hari kiamat kelak di sisi Allah Taala adalah menggunakan nama gelaran Malikul Muluk.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Bukhari. Di dalam sebuah riwayat yang lain pula Rasulullah SAW telah bersabda yang bermaksud, “Kemurkaan Allah akan melampaui terhadap seseorang yang menggunakan nama gelaran Malikul Muluk.” Ibnu Subki kemudiannya menceritakan, selepas itu kebanyakan dari pemerintah kerajaan Bani Buwaih tidak lagi menggunakan nama gelaran Malikul Muluk, kemudian nama gelaran itu sedikit demi sedikit semakin hilang dari disertakan di awal nama-nama pemerintah kerajaan tersebut.

Ibnu Hilkan di dalam kitab وفيات الأعيان jilid 2 halaman 444 menyatakan, Imam Mawardi mempunyai beberapa buah keramat. Sebahagiannya ialah Imam Mawardi tidak menzahirkan segala karangannya semasa beliau masih hidup lagi. Beliau telah menyimpan semua kitab tulisannya di sebuah tempat. Apabila beliau merasakan dirinya akan meninggal dunia, beliau berkata kepada seseorang yang dipercayai kebenarannya seraya menunjukkan kesemua kitab yang tersimpan di tempat yang ditentukan adalah kitab hasil tulisan tangannya. Beliau tidak menzahirkannya kepada umum semasa hayatnya, kerana beliau merasakan tidak ikhlas semasa beliau mengarang setiap barisan tinta yang dimuatkan di dalam kitab-kitab susunannya. Seterusnya, Imam Mawardi berkata kepada orang kepercayaannya, “Sekiranya aku hampir akan menghembuskan nafas yang terakhir nantinya dan berada di dalam keadaan yang nazak, kamu hendaklah meletakkan tangan kamu di atas tangan aku. Sekiranya tangan aku menggenggam tangan kamu, Allah Taala tidak menerima segala daya usaha aku ketika aku menyusun kesemua kitab karangan ini. Dengan itu, kamu hendaklah campakkan semua kitab karangan aku ke dalam Sungai Dajlah pada waktu malam. Sekiranya tangan aku terbuka luas dan tidak menggenggam tangan kamu, segala karangan aku diterima Allah. Kini aku mengharapkan segala daya usaha aku berasaskan kepada niat yang ikhlas kepada Allah Taala semata-mata.” Orang kepercayaan Imam Mawardi menceritakan, “Bila Imam Mawardi hampir menghembuskan nafas yang terakhir, aku pun meletakkan tangan di atas tangannya, aku dapati tangannya terbuka luas. Justeru itu, aku tahu segala karangan beliau diterima Allah Taala. Selepas itu, aku keluarkan semua kitabnya dari simpanannya untuk aku sebarkan kepada umum.”

Ibnu Subki menukilkan daripada Ibnu Khairun, anak murid Imam Mawardi, Imam Mawardi pernah berkata, “Mungkin kitab al-Hawi ini yang tidak diterima Allah.” Ibnu Khairun meneruskan ceritanya, “Aku lihat karangan-karangannya banyak sekali yang ditulis dengan tangan. Sebahagiannya aku sendiri tidak dapat habis membacanya semasa beliau masih hidup lagi.”

Sekiranya benar riwayat ini, menunjukkan Imam Mawardi tersangat tawadhuk, tidak tertipu dan dapat menjauhkan dirinya dari sifat-sifat megah serta berbangga diri. Beliau merasa takut segala kitabnya tidak diterima Allah Taala Yang Maha Kuasa, kerana ditakuti tidak disertai dengan niat yang teramat ikhlas kepadaNya.

Sebahagian dari sifat-sifatnya ialah beliau berinteraksi dengan semua golongan masyarakat yang berada di sekelilingnya dengan sifat hikmah dan mengikut keadaan suasana mereka, sentiasa memelihara sifat berani untuk menuntut sesuatu yang hak, khususnya ketika bermuamalah dengan orang jahil yang sentiasa menggambarkan menuntut ilmu adalah sesuatu perkara yang tidak digalakkan agama. Apabila orang seperti ini melihat alat-alat perkakas tulisan, mereka sentiasa akan menjauhkan diri. Bila mereka melihat kitab-kitab karangan para bijak pandai, mereka sentiasa mengelakkan diri untuk terus mengkajinya dengan lebih mendalam lagi. Imam Mawardi pernah berkata, “Sebahagian orang yang tergolong dalam kelompok ini adalah terdiri daripada orang yang mempunyai kedudukan yang tertinggi di dalam masyarakat dan orang yang mempunyai nama serta pangkat besar. Aku tersangat takut untuk mendekati mereka kerana aku sentiasa membawa alat-alat tulisan dan kitab. Aku tidak mahu menyusahkan mereka. Apabila aku menjauhkan diri dari mereka, aku merasa tenang dan sentiasa di dalam kebaikan. Apabila aku mendekati mereka, aku merasa sentiasa berada dalam keburukan dan kefasadan.”

Sebahagian dari para gurunya ialah Abu Qasim Abdul Wahid Syaimiri, Abu Hamid Ahmad Isfaraini, Syeikh Imam Abu Muhammad Bafi, Hassan Jabali, Ibnu Marastani Baghdadi, Muhammad ibnu Adi Minqara, Hussain ibnu Ali Karabisi, Abu Ibrahim Ismail Muzani, Ibnu Suraij, Abu Said Asthokhori, Muhammad ibnu Ali Qaffal dan Abu Ishak Ibrahim Maruzi. Sebahagian daripada anak-anak muridnya ialah Khatib Baghdadi, Ibnu Khairun, Abdul Malik bin Ibrahim Maqdisi, Ibnu Aribah, Ibnu Kadis Akbiri, Abu Bakar Khilwani, Abu Mansur Qusyairi, Abu Mansur Abdul Wahid Qusyairi, Abu Muhammad Abdul Ghani Basyrie, Abu Hassan Abdari dan Ruyani. Sebahagian daripada kitab-kitab karangannya ialah Iqna’, Amthalul Qur’an, Kafi Fi Syarhi Mukhtasaril Muzani, Muqtarin, Ahkamus Sultaniah, Adab Qadhi, A’lamun Nubuwwah, Tashilun Nazar, Nasihatul Muluk, Amthalu Walhikam, Hawi Kabir dan kitab Adab Takallum.

Imam Mawardi di kalangan ahli Fikir Islam:

Sebagaimana yang jelas kepada kita sebelum ini, Imam Mawardi telah mencapai darjat ketinggian dari segi keilmuan Islam. Beliau mengatasi semua tokoh ulamak mazhab Syafie pada masanya, sehinggalah semua ulamak pada masa itu memandangnya sebagai seorang yang mempunyai kemuliaan dan kedudukan yang tinggi. Kebanyakan tokoh pada masa itu seingkali mengambil pendapatnya kerana mereka menganggap Imam Mawardi adalah seorang ulamak yang bertaraf mujtahid dan mempunyai banyak ilmu yang dihafaz. Dengan sebab ini, Imam Mawardi mampu untuk meluaskan feqh mazhab Syafie dan menambahkan cabang-cabang ilmu mazhab dengan kemampuan ijtihadnya. Begitulah keadaan Imam Mawardi yang dianggap sebagai sebuah lautan yang mempunyai keilmuan luas yang mampu mencurahkan ilmunya dan mentafsirkan pengetahuannya sesuai dengan peribadinya yang mulia, di samping dengan kedudukan beliau dari segi keilmuannya dan pengetahuannya.

Orientalis dan Imam Mawardi:

Imam Mawardi mempunyai nasib yang amat baik sekali kerana para orientalis sendiri terpegun dengan karangannya terutama sekali kitab beliau yang bernama Ahkamus Sultaniah. Malah mereka seringkali mendapatkan kesan keilmuannya dengan secara mengkaji, memutalaah, mentahkik dan menta’lik. Sehinggakan sebahagian ulamak berpendapat, kitab Ahkamus Sultaniah adalah setanding dengan buku Siasah karangan Aristotle dalam bidang ilmu pemerintahan, sekiranya kitab karangan Imam Mawardi itu dijadikan bahan rujukan di negara-negara Islam, sementara buku Siasah pula dijadikan bahan rujukan di bandar-bandar di negara Yunani. Malah seorang orientalis berbangsa Jerman yang bernama Enger telah mencetak kitab Ahkamus Sultaniah karangan Imam Mawardi di bandar Bone, Jerman pada tahun 1853 Masihi.

Kedudukan Imam Mawardi Dari Segi Keilmuan dan Pengetahuan:

1) Imam Mawardi sendiri telah mengarang kitab dalam bidang politik dan pemerintahan Islam sebanyak 4 buah kitab, ditambah dengan kitab الحاوي الكبير yang menceritakan tentang keseluruhan kefahamannya sesuai dengan mazhab Syafie. Kitab-kitab itu ialah Ahkamus Sultaniah, Adab Wazir, Nasihatul Muluk dan Tashilun Nazar. Setiap kitab mempunyai tajuk tersendiri, walaupun ada tajuk yang hampir-hampir sama iaitu tajuk yang membincangkan tentang masalah perundangan, perekonomian dan kemasyarakatan.

2) Semua karangannya sesuai dengan peristiwa semasa, malah berusaha untuk mengolah hukum syarak disesuaikan dengan masalah baru yang tidak pernah wujud sebelumnya. Ini menunjukkan beliau mempunyai pengalaman yang luas dalam bidang politik dan pentadbiran pemerintahan, kerana suasana yang kacau bilau yang melanda semasa hayat beliau. Oleh itu, beliau berusaha memberi nasihat kepada pihak yang sentiasa berebutkan jawatan dan pangkat duniawi dalam kerajaan Buwaih, kerajaan Salajikah dan kerajaan kecil lainnya.

3) Sekalipun Imam Mawardi berusaha menyebarkan kefahamannya dalam mazhab Syafie, beliau tidaklah mengenepikan sesuatu pendapat yang tidak diiktikadnya. Beliau tidak pernah melupakan peribadi guru yang pernah mendidiknya, sekalipun berlainan mazhab dengannya, bahkan sentiasa mengamalkan kebebasan berfikir selagi tidak bercanggah dengan prinsip Islam itu sendiri.

4) Ketika berbincang dengan ulamak semasa, beliau sentiasa menggunakan sumber ilmu Islam. Beliau mengutamakan masdar kitab al-Qur’an, kemudian bersandarkan kepada Hadis Nabawi.

5) Daripada semua keterangan yang disebutkan, kita boleh membuat kesimpulan, Imam Mawardi layak digelar sebagai qadhi qudhat, kerana beliau merupakan orang yang paling bersederhana antara taklid dan berijtihad. Daripada kitab karangannya, beliau dikelaskan sebagai ulamak yang banyak karangannya setanding dengan Imam Tabari, Mas’udi, Imam Ghazali dan Ibnu Rusd.

Read More......

Khwarizmi 's.....








Read More......

Imam Muslim, Penghimpun dan Penyusun Hadits Terbaik Kedua Setelah Imam Bukhari

Penghimpun dan penyusun hadits terbaik kedua setelah Imam Bukhari adalah Imam Muslim. Nama lengkapnya ialah Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Ia juga mengarang kitab As-Sahih (terkenal dengan Sahih Muslim). Ia salah seorang ulama terkemuka yang namanya tetap dikenal hingga kini. Ia dilahirkan di Naisabur pada tahun 206 H. menurut pendapat yang sahih sebagaimana dikemukakan oleh al-Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya 'Ulama'ul-Amsar.

Kehidupan dan Lawatannya untuk Mencari Ilmu


Ia belajar hadits sejak masih dalam usia dini, yaitu mulaii tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya.


Dalam lawatannya Imam Muslim banyak mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak ia belajar hadits kepada Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas'Abuzar; di Mesir berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadits yang lain.


Muslim berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H. di waktu Imam Bukhari dating ke Naisabur, Muslim sering dating kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung kepada Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam Sahihnya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadits dalam Sahihnya, yang diterimanya dari Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke dalan Sahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu, dengan tetap mengakui mereka sebagai guru.


Wafatnya


Imam Muslim wafat pada Minggu sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun.


Guru-gurunya


Selain yang telah disebutkan di atas, Muslim masih mempunyai banyak ulama yang menjadi gurunya. Di antaranya : Usman dan Abu Bakar, keduanya putra Abu Syaibah; Syaiban bin Farwakh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harb, Amr an-Naqid, Muhammad bin al-Musanna, Muhammad bin Yassar, Harun bin Sa'id al-Ayli, Qutaibah bin Sa'id dan lain sebagainya.


Keahlian dalam Hadits


Apabila Imam Bukhari merupakan ulama terkemuka di bidang hadits sahih, berpengetahuan luas mengenai ilat-ilat dan seluk beluk hadits, serta tajam kritiknya, maka Imam Muslim adalah orang kedua setelah Imam Bukhari, baik dalam ilmu dan pengetahuannya maupun dalam keutamaan dan kedudukannya.


Imam Muslim banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama ahli hadits maupun ulama lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi berketa, "Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, memperhatikan ilmunya dan menempuh jalan yang dilaluinya." Pernyataan ini tidak berarti bahwa Muslim hanyalah seorang pengekor. Sebab, ia mempunyai cirri khas dan karakteristik tersendiri dalam menyusun kitab, serta etode baru yang belum pernah diperkenalkan orang sebelumnya.


Abu Quraisy al-Hafiz menyatakan bahwa di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Muslim (Tazkiratul Huffaz, jilid 2, hal. 150). Maksud perkataan tersebut adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy, sebab ahli hadits itu cukup banyak jumlahnya.


Karya-karya Imam Muslim


Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya :




Al-Jami' as-Sahih (Sahih Muslim).

Al-Musnadul Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadits).

Kitabul-Asma' wal-Kuna.

Kitab al-'Ilal.

Kitabul-Aqran.

Kitabu Su'alatihi Ahmad bin Hambal.

Kitabul-Intifa' bi Uhubis-Siba'.

Kitabul-Muhadramin.

Kitabu man Laisa lahu illa Rawin Wahid.

Kitab Auladis-Sahabah.

Kitab Awhamil-Muhadditsin.



Kitab Sahih Muslim


Di antara kitab-kitab di atas yang paling agung dan sangat bermanfat luas, serta masih tetap beredar hingga kini ialah Al-Jami' as-Sahih, terkenal dengan Sahih Muslim. Kitab ini merupakan salah satu dari dua kitab yang paling sahih dan murni sesudah Kitabullah. Kedua kitab Sahih ini diterima baik oleh segenap umat Islam.


Imam Muslim telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari keadaan para perawi, menyaring hadits-hadits yang diriwayatkan, membandingkan riwayat-riwayat itu satu sama lain. Muslim sangat teliti dan hati-hati dalam menggunakan lafaz-lafaz, dan selalu memberikan isyarat akan adanya perbedaan antara lafaz-lafaz itu. Dengan usaha yang sedeemikian rupa, maka lahirlah kitab Sahihnya.


Bukti kongkrit mengenai keagungan kitab itu ialah suatu kenyataan, di mana Muslim menyaring isi kitabnya dari ribuan riwayat yang pernah didengarnya. Diceritakan, bahwa ia pernah berkata: "Aku susun kitab Sahih ini yang disaring dari 300.000 hadits."


Diriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, yang berkata : "Aku menulis bersama Muslim untuk menyusun kitab Sahihnya itu selama 15 tahun. Kitab itu berisi 12.000 buah hadits.


Dalam pada itu, Ibn Salah menyebutkan dari Abi Quraisy al-Hafiz, bahwa jumlah hadits Sahih Muslim itu sebanyak 4.000 buah hadits. Kedua pendapat tersebut dapat kita kompromikan, yaitu bahwa perhitungan pertama memasukkan hadits-hadits yang berulang-ulang penyebutannya, sedangkan perhitungan kedua hanya menghitung hadits-hadits yang tidak disebutkan berulang.


Imam Muslim berkata di dalam Sahihnya: "Tidak setiap hadits yang sahih menurutku, aku cantumkan di sini, yakni dalam Sahihnya. Aku hanya mencantumkan hadits-hadits yang telah disepakati oleh para ulama hadits."


Imam Muslim pernah berkata, sebagai ungkapan gembira atas karunia Tuhan yang diterimanya: "Apabila penduduk bumi ini menulis hadits selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar kitab musnad ini."


Ketelitian dan kehati-hatian Muslim terhadap hadits yang diriwayatkan dalam Sahihnya dapat dilihat dari perkataannya sebagai berikut : "Tidaklah aku mencantumkan sesuatu hadits dalam kitabku ini, melainkan dengan alasan; juga tiada aku menggugurkan sesuatu hadits daripadanya melainkan dengan alas an pula."


Imam Muslim di dalam penulisan Sahihnya tidak membuat judul setiap bab secara terperinci. Adapun judul-judul kitab dan bab yang kita dapati pada sebagian naskah Sahih Muslim yang sudah dicetak, sebenarnya dibuat oleh para pengulas yang datang kemudian. Di antara pengulas yang paling baik membuatkan judul-judul bab dan sistematika babnya adalah Imam Nawawi dalam Syarahnya.

Read More......

Imam Bukhori r.a.

Abad ketiga Hijriah merupakan kurun waktu terbaik untuk menyusun atau menghimpun Hadits Nabi di dunia Islam. waktu itulah hidup enam penghimpun ternama Hadits Sahih yaitu:

Imam Bukhari
Imam Muslim
Imam Abu Daud
Imam Tirmizi
Imam Nasa'i
Imam Ibn Majah

Tokoh Islam penghimpun dan penyusun hadits itu banyak, dan yang lebih terkenal di antaranya seperti yang disebut diatas. Adapun urutan pertama yang paling terkenal diantara enam tokoh tersebut di atas adalah Amirul-Mu'minin fil-Hadits (pemimpin orang mukmin dalam hadits), suatu gelar ahli hadits tertinggi. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah. Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail, terkenal kemudian sebagai Imam Bukhari, lahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M), cucu seorang Persia bernama...
Bardizbah. Kakeknya, Bardizbah, adalah pemeluk Majusi, agama kaumnya. Kemudian putranya, al-Mughirah, memeluk Islam di bawah bimbingan al-Yaman al Ja'fi, gubernur Bukhara. Pada masa itu Wala dinisbahkan kepadanya. Karena itulah ia dikatakan "al-Mughirah al-Jafi."

Mengenai abangnya, Ibrahim, tidak terdapat data yang jelas, sedangkan ayahnya, Ismail, seorang ulama besar ahli hadits. Ia belajar hadits dari Hammad ibn Zayd dan Imam Malik. Riwayat hidupnya telah dipaparkan oleh Ibn Hibban dalam kitab As-Siqat, begitu juga putranya, Imam Bukhari, membuat biografinya dalam at-Tarikh al-Kabir.

Ayah Bukhari disamping sebagai orang berilmu, ia juga sangat wara' (menghindari yang subhat/meragukan dan haram) dan takwa. Diceritakan, bahwa ketika menjelang wafatnya, ia berkata: "Dalam harta yang kumiliki tidak terdapat sedikitpun uang yang haram maupun yang subhat." Dengan demikian, jelaslah bahwa Bukhari hidup dan terlahir dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama dan wara'. Tidak heran jika ia lahir dan mewrisi sifat-sifat mulia dari ayahnya itu.

Ia dilahirkan di Bukhara setelah salat Jum'at. Tak lama setelah bayi yang baru lahr itu membuka matanya, iapun kehilangan penglihatannya. Ayahnya sangat bersedih hati. Ibunya yang saleh menagis dan selalu berdo'a ke hadapan Tuhan, memohon agar bayinya bisa melihat. Kemudian dalam tidurnya perempuan itu bermimpi didatangi Nabi Ibrahim yang berkata: "Wahai ibu, Allah telah menyembuhkan penyakit putramu dan kini ia sudah dapat melihat kembali, semua itu berkat do'amu yang tiada henti-hentinya." Ketika ia terbangun, penglihatan bayinya sudah normal. Ayahnya meninggal di waktu dia masih kecil dan meninggalkan banyak harta yang memungkinkan ia hidup dalam pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Dia dirawat dan dididikl oleh ibunya dengan tekun dan penuh perhatian.

Keunggulan dan kegeniusan Bukhari sudah nampak semenjak masih kecil. Allah menganugerahkan kepadanya hati yang cerdas, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadits. Ketika berusia 10 tahun, ia sudah banyak menghafal hadits. Pada usia 16 tahun ia bersama ibu dan abang sulungnya mengunjungi berbagai kota suci. Kemudian ia banyak menemui para ulama dan tokoh-tokoh negerinya untuk memperoleh dan belajar hadits, bertukar pikiran dan berdiskusi dengan mereka. Dalam usia 16 tahun, ia sudah hafal kitab sunan Ibn Mubarak dan Waki, juga mengetahui pendapat-pendapat ahli ra'yi (penganut faham rasional), dasar-dasar dan mazhabnya.

Rasyid ibn Ismail, abangnya yang tertua menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberpa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia dicela membuang waktu dengan percuma karena tidak mencatat. Bukhari diam tidak menjawab. Pada suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan yang terus-menerus itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka. Tercenganglah mereka semua karena Bukhari ternyata hapal di luar kepala 15.000 haddits, lengkap terinci dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.

Tahun 210 H, Bukhari berangkat menuju Baitullah untuk menunaikan ibadah haji, disertai ibu dan saudaranya, Ahmad. Saudaranya yang lebih tua ini kemudian pulang kembali ke Bukhara, sedang dia sendiri memilih Mekah sebagai tempat tinggalnya. Mekah merupakan salah satu pusat ilmu yang penting di Hijaz. Sewaktu-waktu ia pergi ke Madinah. Di kedua tanah suci itulah ia menulis sebagian karya-karyanya dan menyusun dasar-dasar kitab Al-Jami'as-Sahih dan pendahuluannya.

Ia menulis Tarikh Kabir-nya di dekat makam Nabi s.a.w. dan banyak menulis pada waktu malam hari yang terang bulan. Sementara itu ketiga buku tarikhnya, As-Sagir, Al-Awsat dan Al-Kabir, muncul dari kemampuannya yang tinggi mengenai pengetahuan terhadap tokoh-tokoh dan kepandaiannya bemberikan kritik, sehingga ia pernah berkata bahwa sedikit sekali nama-nama yang disebutkan dalam tarikh yang tidak ia ketahui kisahnya.

Kemudian ia pun memulai studi perjalanan dunia Islam selama 16 tahun. Dalam perjalanannya ke berbagai negeri, hampir semua negeri Islam telah ia kunjungi sampai ke seluruh Asia Barat. Diceritakan bahwa ia pernah berkata: "Saya telah mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah masing-masing dua kali, ke basrah empat kali, menetap di Hijaz (Mekah dan Madinah) selama enam tahun dan tak dapat dihitung lagi berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits."

Pada waktu itu, Baghdad adalah ibu kota negara yang merupakan gudang ilmu dan ulama. Di negeri itu, ia sering menemui Imam Ahmad bin Hambal dan tidak jarang ia mengajaknya untuk menetap di negeri tersebut dan mencelanya karena menetap di negeri Khurasan.
Dalam setiap perjalanannya yang melelahkan itu, Imam Bukhari senantiasa menghimpun hadits-hadits dan ilmu pengetahuan dan mencatatnya sekaligus. Di tengah malam yang sunyi, ia bangun dari tidurnya, menyalakan lampu dan menulis setiap masalah yang terlintas di hatinya, setelah itu lampu di padamkan kembali. Perbutan ini ia lakukan hampir 20 kali setiap malamnya. Ia merawi hadits dari 80.000 perawi, dan berkat ingatannya yang memang super jenius, ia dapat menghapal hadits sebanyak itu lengkap dengan sumbernya.

Kemasyuran Imam Bukhari segera mencapai bagian dunia Islam yang jauh, dan kemanapun ia pergi selalu di elu-elukan. Masyarakat heran dan kagum akan ingatanya yang luar biasa. Pada tahun 250 H. Imam Bukhari mengunjungi Naisabur. Kedatangannya disambut gembira oleh para penduduk, juga oleh gurunya, az-Zihli dan para ulama lainnya.

Imam Muslim bin al-Hajjaj, pengarang kitab as-Sahih Muslim menceritakan: "Ketika Muhammad bin Ismail datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya." Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (? 100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya az-Zihli berkata: "Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya. Esok paginya Muhammad bin Yahya az-Zihli, sebagian ulama dan penduduk Naisabur menyongsong kedatangan Imam Bukhari, ia pun lalu memasuki negeri itu dan menetap di daerah perkampungan orang-orang Bukhara. Selama menetap di negeri itu, ia mengajarkan hadits secara tetap. Sementara itu, az-zihli pun berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata: "Pergilah kalian kepada orang alim yang saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya."

Tak lama kemudian terjadi fitnah terhadap Imam bukhari atas perbuatan orang-orang yang iri dengki. Mereka meniupkan tuduhannya kepada Imam Bukhari sebagai orang yang berpendapat bahwa "Al-Qur'an adalah makhluk." Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, az-Zihli kepadanya, sehingga ia berkata: "Barang siapa berpendapat lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid'ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia." Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.

Pada hakikatnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: "Bagaimana pendapat Anda tentang lafadz-lafadz Al-Qur'an, makhluk ataukah bukan?" Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali. Tetapi orang tersebut terus mendesaknya, maka ia menjawab: "Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid'a." Yang dimaksud dengan perbuatan manusia adalah bacaan dan ucapan mereka. Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari perbah berkata: "Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW. yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman kemudian Ali. Dengan berpegang pada keyakinan dan keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akherat kelak, insya Allah." Demikian juga ia pernah berkata: "Barang siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah makhluk, ia adalah pendusta."

Az-Zahli benar-benar telah murka kepadanya, sehingga ia berkata: "Lelaki itu (Bukhari) tidak boleh tinggal bersamaku di negeri ini." Oleh karena Imam Bukhari berpendapat bahwa keluar dari negeri itu lebih baik, demi menjaga dirinya, dengan hrapan agar fitnah yang menimpanya itu dapat mereda, maka ia pun memutuskan untuk keluar dari negeri tersebut.

Setelah keluar dari Naisabur, Imam Bukhari pulang ke negerinya sendiri, Bukhara. Kedatangannya disambut meriah oleh seluruh penduduk. Untuk keperluan itu, mereka mengadakan upacara besar-besaran, mendirikan kemah-kemah sepanjang satu farsakh (? 8 km) dari luar kota dan menabur-naburkan uang dirham dan dinar sebagai manifestasi kegembiraan mereka. Selama beberapa tahun menetap di negerinya itu, ia mengadakan majelis pengajian dan pengajaran hadits.

Tetapi kemudian badai fitnah datang lagi. Kali ini badai itu datang dari penguasa Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad az-Zihli, walaupun sebabnya timbul dari sikap Imam Bukhari yang terlalu memuliakan ilmu yang dimlikinya. Ketika itu, penguasa Bukhara, mengirimkan utusan kepada Imam Bukhari, supaya ia mengirimkan kepadanya dua buah karangannya, al-Jami' al-Sahih dan Tarikh. Imam Bukhari keberatan memenuhi permintaan itu. Ia hanya berpesan kepada utusan itu agar disampaikan kepada Khalid, bahwa "Aku tidak akan merendahkan ilmu dengan membawanya ke istana. Jika hal ini tidak berkenan di hati tuan, tuan adalah penguasa, maka keluarkanlah larangan supaya aku tidak mengadakan majelis pengajian. Dengan begitu, aku mempunyai alasan di sisi Allah kelak pada hari kiamat, bahwa sebenarnya aku tidak menyembunyikan ilmu." Mendapat jawaban seperti itu, sang penguasa naik pitam, ia memerintahkan orang-orangnya agar melancarkan hasutan yang dapat memojokkan Imam Bukhari. Dengan demikian ia mempunyai alasan untuk mengusir Imam Bukhari. Tak lama kemudian Imam Bukhari pun diusir dari negerinya sendiri, Bukhara.

Imam Bukhari, kemudian mendoakan tidak baik atas Khalid yang telah mengusirnya secara tidak sah. Belum sebulan berlalu, Ibn Tahir memerintahkan agar Khalid bin Ahmad dijatuhi hukuman, dipermalukan di depan umum dengan menunggang himar betina. Maka hidup sang penguasa yang dhalim kepada Imam Bukhari itu berakhir dengan kehinaan dan dipenjara.

Imam Bukhari tidak saja mencurahkan seluruh intelegensi dan daya ingatnnya yang luar biasa itu pada karya tulisnya yang terpenting, Sahih Bukhari, tetapi juga melaksanakan tugas itu dengan dedikasi dan kesalehan. Ia selalu mandi dan berdo'a sebelum menulis buku itu. Sebagian buku tersebut ditulisnya di samping makan Nabi di Madinah.

Imam Durami, guru Imam Bukhari, mengakui keluasan wawasan hadits muridnya ini: "Di antara ciptaan Tuhan pada masanya, Imam Bukharilah agaknya yang paling bijaksana."

Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari yang isinya meminta ia supaya menetap di negeri mereka. Maka kemudian ia pergi untuk memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil yang terletak dua farsakh sebelum Samarkand, dan desa itu terdapat beberapa familinya, ia pun singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi mereka. Tetapi di desa itu Imam Bukhari jatuh sakit hingga menemui ajalnya.

Ia wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H. (31 Agustus 870 M), dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Jenazahnya dikebumikan lepas dzuhur, hari raya Idul Fitri, sesudah ia melewati perjalanan hidup panjang yang penuh dengan berbagai amal yang mulia. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya.

Pengembaraannya ke berbagai negeri telah mempertemukan Imam Bukhari dengan guru-guru yang berbobot dan dapat dipercaya, yang mencapai jumlah sangat banyak. Diceritakan bahwa dia menyatakan: "Aku menulis hadits yang diterima dari 1.080 orang guru, yang semuanya adalah ahli hadits dan berpendirian bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan." Di antara guru-guru besar itu adalah Ali ibn al-Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma'in, Muhammad ibn Yusuf al-Faryabi, Maki ibn Ibrahim al-Bakhi, Muhammad ibn Yusuf al-Baykandi dan Ibn Rahawaih. Guru-guru yang haditsnya diriwayatkan dalam kitab Sahih-nya sebanyak 289 orang guru.

Karena kemasyurannya sebagai seorang alim yang super jenius, sangat banyak muridnya yang belajar dan mendengar langsung haditsnya dari dia. Tak dapat dihitung dengan pasti berapa jumlah orang yang meriwayatkan hadits dari Imam Bukhari, sehingga ada yang berpendapat bahwa kitab Sahih Bukhari didengar secara langsung dari dia oleh sembilan puluh ribu (90.000) orang (Muqaddimah Fathul-Bari, jilid 22, hal. 204). Di antara sekian banyak muridnya yang paling menonjol adalah Muslim bin al-Hajjaj, Tirmizi, Nasa'i, Ibn Khuzaimah, Ibn Abu Dawud, Muhammad bin Yusuf al-Firabri, Ibrahim bin Ma'qil al-Nasafi, Hammad bin Syakr al-Nasawi dan Mansur bin Muhammad al-Bazdawi. Empat orang yang terakhir ini merupakan yang paling masyur sebagai perawi kitab Sahih Bukhari.

Dalam bidang kekuatan hafalan, ketajaman pikiran dan pengetahuan para perawi hadits, juga dalam bidang ilat-ilat hadits, Imam Bukhari merupakan salah satu tanda kekuasaan (ayat) dan kebesaran Allah di muka bumi ini. Allah telah mempercayakan kepada Bukhari dan para pemuka dan penghimpun hadits lainnya, untuk menghafal dan menjaga sunah-sunah Nabi kita Muhammad SAW. Diriwayatkan, bahwa Imam Bukhari berkata: "Saya hafal hadits di luar kepala sebanyak 100.000 buah hadits sahih, dan 200.000 hadits yang tidak sahih."

Mengenai kejeniusan Imam Bukhari dapat dibuktikan pada kisah berikut. Ketika ia tiba di Baghdad, ahli-ahli hadits di sana berkumpul untuk menguji kemampuan dan kepintarannya. Mereka mengambil 100 buah hadits, lalu mereka tukar-tukarkan sanad dan matannya (diputar balikkan), matan hadits ini diberi sanad hadits lain dan sanad hadits lain dinbuat untuk matan hadits yang lain pula. 10 orang ulama tampil dan masing-masing mengajukan pertanyaan sebanyak 10 pertanyaan tentang hadits yang telah diputarbalikkan tersebut. Orang pertama tampil dengan mengajukan sepuluh buah hadits kepada Bukhari, dan setiap orang itu selesai menyebutkan sebuah hadits, Imam Bukhari menjawab dengan tegas: "Saya tidak tahu hadits yang Anda sebutkan ini." Ia tetap memberikan jawaban serupa sampai kepada penanya yang ke sepuluh, yang masing-masing mengajukan sepuluh pertanyaan. Di antara hadirin yang tidak mengerti, memastikan bahwa Imam Bukhari tidak akan mungkin mampu menjawab dengan benar pertanyaan-pertanyaan itu, sedangkan para ulama berkata satu kepada yang lainnya: "Orang ini mengetahui apa yang sebenarnya."

Setelah 10 orang semuanya selesai mengajukan semua pertanyaannya yang jumlahnya 100 pertanyaan tadi, kemudian Imam Bukhari melihat kepada penanya yang pertama dan berkata: "Hadits pertama yang anda kemukakan isnadnya yang benar adalah begini; hadits kedua isnadnya yang benar adalah beginii…" Begitulah Imam Bukhari menjawab semua pertanyaan satu demi satu hingga selesai menyebutkan sepuluh hadits. Kemudian ia menoleh kepada penanya yang kedua, sampai menjawab dengan selesai kemudian menoleh kepada penanya yang ketiga sampai menjawab semua pertanyaan dengan selesai sampai pada penanya yang ke sepuluh sampai selesai. Imam Bukhari menyebutkan satu persatu hadits-hadits yang sebenarnya dengan cermat dan tidak ada satupun dan sedikitpun yang salah dengan jawaban yang urut sesuai dengan sepuluh orang tadi mengeluarkan urutan pertanyaanya. Maka para ulama Baghdad tidak dapat berbuat lain, selain menyatakan kekagumannya kepada Imam Bukhari akan kekuatan daya hafal dan kecemerlangan pikirannya, serta mengakuinya sebagai "Imam" dalam bidang hadits.

Sebagian hadirin memberikan komentar terhadap "uji coba kemampuan" yang menegangkan ini, ia berkata: "Yang mengagumkan, bukanlah karena Bukhari mampu memberikan jawaban secara benar, tetapi yang benar-benar sangat mengagumkan ialah kemampuannya dalam menyebutkan semua hadits yang sudah diputarbalikkan itu secara berurutan persis seperti urutan yang dikemukakan oleh 10 orang penguji, padahal ia hanya mendengar pertanyaan-pertanyaan yang banyak itu hanya satu kali."Jadi banyak pemirsa yang heran dengan kemampuan Imam Bukhari mengemukakan 100 buah hadits secara berurutan seperti urutannya si penanya mengeluarkan pertanyaannya padahal beliau hanya mendengarnya satu kali, ditambah lagi beliau membetulkan rawi-rawi yang telah diputarbalikkan, ini sungguh luar biasa.

Imam Bukhari pernah berkata: "Saya tidak pernah meriwayatkan sebuah hadits pun juga yang diterima dari para sahabat dan tabi'in, melainkan saya mengetahui tarikh kelahiran sebagian besar mereka, hari wafat dan tempat tinggalnya. Demikian juga saya tidak meriwayatkan hadits sahabat dan tabi'in, yakni hadits-hadits mauquf, kecuali ada dasarnya yang kuketahui dari Kitabullah dan sunah Rasulullah SAW."

Dengan kedudukannya dalam ilmu dan kekuatan hafalannya Imam Bukhari sebagaimana telah disebutkan, wajarlah jika semua guru, kawan dan generasi sesudahnya memberikan pujian kepadanya. Seorang bertanya kepada Qutaibah bin Sa'id tentang Imam Bukhari, ketika menyatakan : "Wahai para penenya, saya sudah banyak mempelajari hadits dan pendapat, juga sudah sering duduk bersama dengan para ahli fiqh, ahli ibadah dan para ahli zuhud; namun saya belum pernah menjumpai orang begitu cerdas dan pandai seperti Muhammad bin Isma'il al-Bukhari."

Imam al-A'immah (pemimpin para imam) Abu Bakar ibn Khuzaimah telah memberikan kesaksian terhadap Imam Bukhari dengan mengatakan: "Di kolong langit ini tidak ada orang yang mengetahui hadits, yang melebihi Muhammad bin Isma'il." Demikian pula semua temannya memberikan pujian. Abu Hatim ar-Razi berkata: "Khurasan belum pernah melahirkan seorang putra yang hafal hadits melebihi Muhammad bin Isma'il; juga belum pernah ada orang yang pergi dari kota tersebut menuju Irak yang melebihi kealimannya."

Al-Hakim menceriakan, dengan sanad lengkap. Bahwa Muslim (pengarang kitab Sahih), dating kepada Imam Bukhari, lalu mencium antara kedua matanya dan berkata: "Biarkan saya mencium kaki tuan, wahai maha guru, pemimpin para ahli hadits dan dokter ahli penyakit (ilat) hadits." Mengenai sanjungan diberikan ulama generasi sesudahnya, cukup terwakili oleh perkataan al-Hafiz Ibn Hajar yang menyatakan: "Andaikan pintu pujian dan sanjungan kepada Bukhari masih terbuka bagi generasi sesudahnya, tentu habislah semua kertas dan nafas. Ia bagaikan laut tak bertepi."

Imam Bukhari adalah seorang yang berbadan kurus, berperawakan sedang, tidak terlalu tinggi juga tidak pendek; kulitnya agak kecoklatan dan sedikit sekali makan. Ia sangat pemalu namun ramah, dermawan, menjauhi kesenangan dunia dan cinta akhirat. Banyak hartanya yang disedekahkan baik secara sembunyi maupun terang-terangan, lebih-lebih untuk kepentingan pendidikan dan para pelajar. Kepada para pelajar ia memberikan bantuan dana yang cukup besar. Diceritakan ia pernah berkata: "Setiap bulan, saya berpenghasilan 500 dirham,semuanya dibelanjakan untuk kepentingan pendidikan. Sebab, apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal."

Imam Bukhari sangat hati-hati dan sopan dalam berbicara dan dalam mencari kebenaran yang hakiki di saat mengkritik para perawi. Terhadap perawi yang sudah jelas-jelas diketahui kebohongannya, ia cukup berkata: "Perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam diri tentangnya." Perkataan yang tegas tentang para perawi yang tercela ialah: "Haditsnya diingkari."

Meskipun ia sangat sopan dalam mengkritik para perawi, namun ia banyak meninggalkan hadits yang diriwayatkan seseorang hanya karena orang itu diragukan. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa ia berkata: "Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan, dan meninggalkan pula jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatkan perawi yang dalam pandanganku, perlu dipertimbangkan."

Selain dikenal sebagai ahli hadits, Imam Bukhari juga sebenarnya adalah ahli dalam fiqh. Dalam hal mengeluarkan fatwa, ia telah sampai pada derajat mujtahid mustaqiil (bebas, tidak terikat pendapatnya pada madzhab-madzhab tertentu) atau dapat mengeluarkan hukum secara sendirian. Dia mempunyai pendapat-pendapat hukum yang digalinya sendiri. Pendapat-pendapatnya itu terkadang sejalan dengan madzhab Abu Hanifah, terkadang sesuai dengan Madzhab Syafi'i dan kadang-kadang berbeda dengan keduanya. Selain itu pada suatu saat ia memilih madzhab Ibn Abbas, dan disaat lain memilih madzhab Mujahid dan 'Ata dan sebagainya. Jadi kesimpulannya adalah Imam Bukhari adalah seorang ahli hadits yang ulung dan ahli fiqh yg berijtihad sendiri, kendatipun yang lebih menonjol adalah setatusnya sebagai ahli hadits, bukan sebagai ahli fiqh.

Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang alim, ia juga tidak melupakan kegiatan lain yang dianggap penting untuk menegakkan Diunul Islam. Imam Bukhari sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan bahwa sepanjang hidupnya, ia tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya. Tujuannya adalah untuk memerangi musuh-musuh Islam dan mempertahankannya dari kejahatan mereka.

Diantara hasil karya Imam Bukhari adalah sebagai berikut :




Al-Jami' as-Sahih (Sahih Bukhari).

Al-Adab al-Mufrad.

At-Tarikh as-Sagir.

At-Tarikh al-Awsat.

At-Tarikh al-Kabir.

At-Tafsir al-Kabir.

Al-Musnad al-Kabir.

Kitab al-'Ilal.

Raf'ul-Yadain fis-Salah.

Birril-Walidain.

Kitab al-Asyribah.

Al-Qira'ah Khalf al-Imam.

Kitab ad-Du'afa.

Asami as-Sahabah.

Kitab al-Kuna.


Sekilas Tentang Kitab AL-JAMI' AS-SAHIH (Sahih Bukhari)

Diceritakan, Imam Bukhari berkata: "Aku bermimpi melihat Rasulullah SAW.; seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta'bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits Rasulullah SAW. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami' as-Sahih."

Dalam menghimpun hadits-hadits sahih dalam kitabnya, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan kesahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Beliau telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya. Beliau senantiasa membanding-bandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan yang lain, menyaringnya dan memlih has mana yang menurutnya paling sahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: "Aku susun kitab Al-Jami' ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun." Dan beliau juga sangat hati-hati, hal ini dapat dilihat dari pengakuan salah seorang muridnya bernama al-Firbari menjelaskan bahwa ia mendengar Muhammad bin Isma'il al-Bukhari berkata: "Aku susun kitab Al-Jami' as-Sahih ini di Masjidil Haram, dan tidaklah aku memasukkan ke dalamnya sebuah hadits pun, kecuali sesudah aku memohonkan istikharoh kepada Allah dengan melakukan salat dua rekaat dan sesudah aku meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar sahih."

Maksud pernyataan itu ialah bahwa Imam Bukhari mulai menyusun bab-babnya dan dasar-dasarnya di Masjidil Haram secara sistematis, kemudian menulis pendahuluan dan pokok-pokok bahasannya di Rawdah tempat di antara makam Nabi SAW. dan mimbar. Setelah itu, ia mengumpulkan hadits-hadits dan menempatkannya pada bab-bab yang sesuai. Pekerjaan ini dilakukan di Mekah, Madinah dengan tekun dan cermat, menyusunnya selama 16 tahun.

Dengan usaha seperti itu, maka lengkaplah bagi kitab tersebut segala faktor yang menyebabkannya mencapai kebenaran, yang nilainya tidak terdapat pada kitab lain. Karenanya tidak mengherankan bila kitab itu mempunyai kedudukan tinggi dalam hati para ulama. Maka sungguh tepatlah ia mendapat predikat sebagai "Buku Hadits Nabi yang Paling Sahih."

Diriwayatkan bahwa Imam Bukhari berkata: "Tidaklah kumasukkan ke dalam kitab Al-Jami'as-Sahih ini kecuali hadits-hadits yang sahih; dan kutinggalkan banyak hadits sahih karena khawatir membosankan."

Kesimpulan yang diperoleh para ulama, setelah mengadakan penelitian secara cermat terhadap kitabnya, menyatakan bahwa Imam Bukhari dalam kitab Sahih-nya selalu berpegang teguh pada tingkat kesahihan yang paling tinggi, dan tidak turun dari tingkat tersebut kecuali dalam beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab, seperti hadits mutabi dan hadits syahid, dan hadits-hadits yang diriwayatkan dari sahabat dan tabi'in.

Jumlah Hadits Kitab Al-Jami'as-Sahih (Sahih Bukhari)

Al-'Allamah Ibnus-Salah dalam Muqaddimah-nya menyebutkan, bahwa jumlah hadits Sahih Bukhari sebanyak 7.275 buah hadits, termasuk hadits-hadits yang disebutnya berulang, atau sebanyak 4.000 hadits tanpa pengulangan. Perhitungan ini diikuti oleh Al-"Allamah Syaikh Muhyiddin an-Nawawi dalam kitabnya, At-Taqrib.

Selain pendapat tersebut di atas, Ibn Hajar di dalam muqaddimah Fathul-Bari, kitab syarah Sahih Bukhari, menyebutkan, bahwa semua hadits sahih mawsil yang termuat dalam Sahih Bukhari tanpa hadits yang disebutnya berulang sebanyak 2.602 buah hadits. Sedangkan matan hadits yang mu'alaq namun marfu', yakni hadits sahih namun tidak diwasalkan (tidak disebutkan sanadnya secara sambung-menyambung) pada tempat lain sebanyak 159 hadits. Semua hadits Sahih Bukhari termasuk hadits yang disebutkan berulang-ulang sebanyak 7.397 buah. Yang mu'alaq sejumlah 1.341 buah, dan yang mutabi' sebanyak 344 buah hadits. Jadi, berdasarkan perhitungan ini dan termasuk yang berulang-ulang, jumlah seluruhnya sebanyak 9.082 buah hadits. Jumlah ini diluar haits yang mauquf kepada sahabat dan (perkataan) yang diriwayatkan dari tabi'in dan ulama-ulama sesudahnya.

Read More......

Imam Nawawi ( 631H - 676H ) versi panjang sgt2...puas hati bacerr.

Beliau adalah Imam Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf bin Murri bin Hassan bin Hussein bin Muhammad bin Jum'ah bin Hizham Hizhami Nawawi Dimasyqi. Beliau adalah seorang ulamak yang mengembangkan, meringkaskan fakta-fakta, memperbetulkan dan seterusnya menyusun semula mazhab Syafie. Pada zamannya, beliau seorang tokoh yang begitu menonjol sekali di dalam pengkajian ilmu pengetahuan dan peribadatan, ulamak yang mementingkan kewarakan dan kemuliaan, orang yang rajin beribadat di kalangan para ulamak dan orang yang paling berilmu di kalangan para ‘abid. Beliau juga seorang yang zuhud daripada kalangan orang yang memperbetulkan permasalahan di dalam mazhab-mazhab dan seorang yang dikenali sebagai pembetul permasalahan fakta-fakta mazhab di antara kalangan orang-orang yang zuhud. Para ulamak juga meriwayatkan bahawa mereka tidak pernah melihat dan mendengar...
sebarang berita daripada mana-mana
sumber pun seorang yang mempunyai ketokohan yang sangat luar biasa selepas zaman para Tabi’en seperti Imam Nawawi. Beliau juga sangat mementingkan bidang ilmu keagamaan dan seterusnya diamalkan, sentiasa bermuraqabah dengan Allah SWT samada semasa bersendirian maupun secara terang-terangan. Tidak pernah membuang waktu dan melepaskan peluang untuk terus mengabdikan diri kepada Allah Yang Maha Kuasa dan sentiasa menurut segala perintah yang telah digariskan oleh Syara’, sehinggalah beliau telah menjadi Qutub pada zamannya serta selalu disanjung tinggi oleh rakyat di sekelilingnya.

Lebih menakjubkan lagi ialah kesemua tokoh-tokoh ulamak pada masa itu samada daripada golongan ulamak yang sepemikiran dengan beliau maupun ulamak yang selalu memperlekehkan tentang mazhab yang dianutinya, mereka itu sentiasa memuji-muji tentang segala perlakuan yang telah diserlahkannya. Semua orang samada yang jauh atau pun yang dekat sentiasa menerima segala luahan bicara yang selalu diperkatakannya, sehinggakan beliau sentiasa dipuji dengan kebaikan di kalangan semua mazhab. Ketokohan beliau yang melambangkan perlakuan yang mulia telah terserlah cahayanya dan tersebar meluas ke merata tempat di dunia, di mana beliau sentiasa mengutamakan perjalanan manhaj yang meyakinkan. Barang siapa sentiasa mengikuti perjalanan hidupnya dan perlakuan akhlaknya, maka beliau akan bersama-samanya di dalam satu taman indah di Syurga yang sentiasa dialiri dengan pancutan mata-air jernih yang menyegarkan.

Barang siapa yang sentiasa mengingatinya, mengamalkan auradnya dan sentiasa memperhatikan tentang segala perlakuan akhlaknya yang terpuji, maka segala kebaikan keduniaan akan diperolehi. Barang siapa yang sentiasa menuangkan segala keilmuan beliau ke dalam rongga dadanya dengan mempelajari segala keilmuannya yang telah dipaparkan di dalam kitab-kitab karangannya, maka mereka ini akan mendapat cahaya kejayaan, boleh mendapatkan cara penyelesai mengenai segala kekusutan permasalahan dan merasa dirinya di dalam keadaan terselamat daripada percaturan penyelesaian permasalahan agama yang tidak dipertanggungjawabkan. Imam Nawawi sentiasa menjadi tempat rujukan para ulamak ketika memperkatakan tentang fakta-fakta dan kaedah-kaedah mazhab Syafie, juga menerangkan tentang peri pentingnya perjalanan syara' dan matlamatnya. Para ulamak-ulamak mazhab juga sudah merasa lega dengan masdar dan punca keilmuan yang telah dicetuskan oleh Imam Nawawi, lantaran beliau sendiri telah memurnikan segala tempat rujukan dan dasar mazhab daripada sebarang kekeliruan untuk dijadikan sebagai panduan kepada pengkaji-pengkaji keilmuan selepasnya.

Syeikh Tajuddin Subki telah memaparkan di dalam kitab Tabakatnya bahawaImam Nawawi adalah seorang guru kebanyakan ulamak Mutaakhirin dan fatwa-fatwanya dijadikan hujah kebenaran fakta oleh setiap ulamak yang pernah berjumpa dengan beliau. Syeikh Tajuddin meneruskan catatannya, ulamak-ulamak pada masa itu telah sependapat bahawa Imam Nawawi adalah orang yang paling zuhud samada beliau di dalam keadaan jaga atau pun di dalam keadaan tidur, dan beliaulah orang yang sentiasa memelihara kehidupan seharian mengikut cara hidup ulamak-ulamak salafus-soleh secara bersungguh-sungguh sesuai dengan peraturan syarak yang terdapat di dalam Sunnah. Beliau mempunyai banyak karangan yang sangat berfaedah dan mempunyai salasilah serta keadaan hidup yang terpuji. Beliau sentiasa berkelakuan dengan sifat-sifat yang sangat terpuji, mempunyai banyak kelebihan, bersifat warak dengan mengikis sikap sukakan kepada keduniaan dan sentiasa bersifat zuhud.

Beliau sentiasa menzahirkan perkara yang hak dan tidak akan memperdulikan kepada orang-orang yang mencercanya, menyampaikan ajaran dan dakwah kepada ramai dengan niat yang suci, sentiasa takutkan pada suatu hari di mana pada masa itu nantinya semua manusia akan mendapat cubaan tanpa dirahsiakan buku catatan mereka. Beliau sentiasa menegakkan segala kebenaran agama dengan berpandukan kepada landasan syarak tanpa menghiraukan kepada ancaman pemerintah, berpegang teguh kepada peraturan agama tanpa mengirakan kepada cercaan dan celaan musuh yang sentiasa iri-hati, meneruskan segala penyampaian dakwahnya dan berani menghadapi segala rintangan yang sentiasa menggendalakan segala usahanya. Beliau sentiasa mengikut jalan dan kaedah yang telah digariskan oleh Ahli Sunnah Wal Jamaah di sepanjang hayatnya.

Ibnu Fadlul Allah pernah berkata di dalam kitab Masalik bahawa Imam Nawawi adalah Syeikhul Islam, seorang wali yang paling alim, ikutan orang-orang yang zuhud, seorang yang mempunyai segala keilmuan dan mengamalkannya, tidak pernah meminta-minta dan berangan-angan, seorang yang sempurna di dalam keadaan perjalanan hidupnya dan tiada tolok bandingnya serta lemah-lembut akhlaknya. Beliau sentiasa dikunjungi oleh para ulamak yang mempunyai kemuliaan. Beliau juga selalu mencetuskan banyak keilmuan hasil daripada kepintaran bicaranya. Oleh sebab beliau cintakan kepada sebarang keilmuan, beliau telah mengembara ke Damsyik untuk menuntut ilmu dan beliau sentiasa menyedikitkan makanan sehariannya sehinggakan beliau tidak meminum air dari bandar Damsyik lantaran menjaga kesucian dirinya.

Tidak lama selepas itu, dengan sebab ketinggian keilmuannya itu, nama beliau menjadi masyhur dan orang ramai sering kali menyebut-nyebut nama beliau. Kepopularitiannya di segi sifatnya yang zuhud itu menyebabkan kewarakan beliau itu telah tersebar ke seluruh ceruk rantau dan pelusuk dunia Islam dan nama beliau menjadi harum lantaran para ulamak sezamannya sentiasa memuji-muji hasil tinta keilmuannya yang telah digarapkan sebagai hasil karangan.

Imam Nawawi telah dilahirkan di dalam lingkungan pertengahan bulan Muharram tahun 631 Hijrah, di sebuah kampung yang bernama Nawa. Beliau dibesarkan dan menghafaz al-Qur’an di kampung tersebut. Pada malam 27 Ramadhan, iaitu ketika beliau berumur 7 tahun, bapanya menceritakan bahawa Imam Nawawi telah mengejutkannya. Imam Nawawi bertanya kepada bapanya: “Wahai bapa, cahaya apakah yang telah menerangi rumah kita ini?”. Bapanya telah mengejutkan kesemua ahli keluarganya, tetapi mereka tidak dapat melihat sesuatu apa pun pada masa itu. Maka barulah bapanya teringat bahawa pada malam itu adalah Lailatul Qadar.

Ketika Imam Nawawi berumur 10 tahun, di kampung Nawa pada masa itu tinggalnya seorang wali yang bernama Syeikh Yassin bin Yusuf Marakisyi. Beliau dapati bahawa kebanyakan kanak-kanak pada masa itu tidak sukakan Imam Nawawi bermain-main bersama kumpulan mereka. Ini menyebabkan Imam Nawawi melarikan diri daripada kumpulan kanak-kanak tersebut lalu menangis lantaran mereka tidak menyukai kehadiran beliau ke situ. Beliau terus membaca ayat-ayat al-Qur’an. Syeikh Yassin meneruskan ceritanya bahawa hatinya terus terpaut dan merasa cinta kepada Imam Nawawi.

Bapanya telah meletakkan beliau di sebuah kedai dan menasihatkan beliau agar beliau tidak menyibukkan diri dengan jual-beli sehingga boleh melupakan untuk membaca ayat-ayat suci al-Qur’an. Syeikh Yassin meneruskan ceritanya bahawa beliau telah berjumpa dengan tuan guru yang mengajar al-Qur’an kepada Imam Nawawi. Beliau berkata kepada tuan guru itu: “Kanak-kanak ini (Imam Nawawi) adalah diharapkan akan menjadi seorang yang paling alim dan paling zuhud pada zamannya kelak. Orang ramai akan sentiasa mengambil manfaat daripadanya”. Tuan guru itu pun mempersoalkannya: “Adakah engkau seorang ahli nujum?”. Syeikh Yassin menjawab: “Tidak!! Harapan itu adalah hasil daripada ilham yang telah diberikan oleh Allah kepadaku”. Beliau terus memberitahu kepada bapa Imam Nawawi tentangnya dan menasihatkan agar menjaga Imam Nawawi dengan sebaik mungkin.

Ketika Imam Nawawi berumur 19 tahun, iaitu pada tahun 649 Hijrah, bapanya telah menghantar Imam Nawawi ke Damsyik dan tinggallah Imam Nawawi di Madrasah Rawahiyyah. Beliau tinggal di sana selama 2 tahun dan tidak pernah tidur dengan keadaan membaringkan rusuknya ke atas lantai. Beliau dapat menghafazkan kitab Tanbih di dalam masa 4 1/2 bulan dan menghafaz 1/4 yang selebihnya daripada kitab Tanbih itu di dalam bulan-bulan berikutnya. Beliau juga mensyarahkan dan memperbetulkan bacaan kitab itu di hadapan gurunya yang alim, zuhud lagi warak bernama Abu Ibrahim Ishak bin Ahmad bin Othman Maghribi as-Syafie. Beliau meneruskan pengajiannya dengan gurunya itu sehinggakan gurunya merasa hairan dan takjub lantaran beliau tersangat minat dan ketetapannya dengan pengajian serta tidak berminat untuk bercampur-gaul dengan orang ramai. Lantaran itu, gurunya tersangat sayangkan beliau dan mengulangi pengajiannya itu beberapa kali di dalam halaqahnya.

Pada tahun 651, bertepatan pada hari Jumaat, beliau bersama-sama dengan bapanya telah mengerjakan ibadah haji. Mereka telah memulakan perjalanan itu pada awal bulan Rejab, kemudian mereka tinggal di Madinah lebih kurang selama 1 1/2 bulan. Ketika mereka memulakan perjalanan dari kampung Nawa, bapanya telah diserang penyakit demam panas sehinggalah menjelangnya hari Arafah tetapi bapanya tidak mengeluh terhadap dugaan yang menimpanya itu. Sekembalinya dari Mekah, mereka telah singgah di Damsyik dan Imam Nawawi tidak melepaskan peluang untuk menimba seberapa banyak ilmu pengetahuan yang terdapat di sana. Imam Nawawi juga menurut jejak langkah gurunya yang bernama Abu Ibrahim Ishak ketika mengerjakan ibadah seperti banyaknya rakaat sembahyang sunat, puasa sepanjang tahun, zuhud dan waraknya. Apabila gurunya itu telah meninggal dunia, Imam Nawawi semakin menggiatkan lagi usahanya untuk menuntut ilmu pengetahuan di merata-rata tempat.

Imam Nawawi telah pergi menunaikan fardhu haji sekali lagi. Ibnu Atthar telah meriwayatkan bahawa gurunya, Qadhi Abu Mafakhir Muhammad bin Abdul Qadir Ansari menceritakan sekiranya Imam Qusyairi pengarang kitab Risalah Qusyairiah sempat bertemu dengan Imam Nawawi, nescaya kedua ulamak ini sama-sama memperingati kepada guru-guru mereka. Keduanya mempunyai taraf keilmuan, amalan, kezuhudan, kewarakan, pertuturan dengan hikmah yang lebih kurang sama di segi kemampuannya.

Ibnu Atthar berkata bahawa pada setiap hari Imam Nawawi telah membaca 12 pelajaran di hadapan beberapa orang guru secara syarah, dua kali pengajian memutalaah kitab Wasith, membaca kitab Muhazzab, meneliti Kitab Sahih Bukhari dan Muslim, membaca Sahih Muslim, kitab Lumak karangan Ibnu Jinni, mengislahkan ilmu Mantik karangan Ibnu Sukaith dalam pelajaran ilmu Lughah, meneliti ilmu Sorof, menyelidik nama-nama Rijal dan membaca kitab-kitab Usuluddin.

Imam Nawawi telah menta’alik segala kemusykilan, menjelaskan keterangan dan menetapkan bahasa. Kesemua waktunya dan urusannya sentiasa di dalam keberkatan Allah SWT. Pernah Imam Nawawi terfikirkan untuk mempelajari ilmu kedoktoran, lantas beliau membeli kitab Undang-undang kedoktoran dan berazam untuk terus mempelajarinya, tetapi pada akhirnya beliau diberikan ilham untuk tidak mempelajarinya. Beliau mengeluarkan semua buku-buku yang berkaitan dengan kedoktoran itu dari rumah beliau. Selepas itu keadaan beliau lebih lega dari sebelumnya.

Di dalam satu cerita, beliau pernah berkata: “Aku pernah sakit di Madrasah Rawahiah. Pada satu malam, di satu sudut Madrasah itu, Aku dapati bapaku, saudaraku dan sekumpulan daripada kaum keluargaku sedang tidur. Tiba-tiba keadaan sakitku beransur-ansur hilang, lantas aku bersemangat untuk berzikir kepada Allah. Dengan perlahan-lahan, Aku bangun dari tempat dudukku dan terus berwudhuk. Tiba-tiba, seorang tua menghampiri kepadaku, lantas berkata kepadaku wahai anakku!! janganlah engkau mengingati Allah kerana engkau akan mengganggu bapa engkau, saudara engkau, ahli keluarga engkau dan orang yang berada di dalam Madrasah ini. Aku pun bertanya: wahai orang tua!! siapa kamu?”. Dia menjawab: Aku adalah orang yang menasihatkan kepadamu. Aku pun terasa bahawa suara itu adalah berlainan daripada biasa. Aku membentak orang tua agar meninggalkan aku berbuat begitu. Akhirnya Aku tahu bahawa suara itu adalah iblis, lantas Aku mengucapkan : Auzu Billahi Minasyaitanirrajim. Aku mengangkat suaraku dengan ucapan tasbih dan Aku terus memalingkan daripadanya untuk menuju ke arah pintu Madrasah. Suara Aku yang kuat itu telah mengejutkan bapaku dan beberapa orang yang tidur di dalam madrasah itu. Aku dapati pintu Madrasah itu berkunci. Di situ, tidak ada seorang pun yang menjaganya. Secara tiba-tiba bapaku menghampiri Aku dan berkata: “Wahai Yahya!, mengapa dengan kamu?”. Aku menceritakan kepadanya apa yang telah berlaku. Mereka menjadi hairan. Dengan tidak semena-mena, semua yang ada di situ terus bangun dari tidur mereka dan duduk untuk membaca tasbih dan berzikir.

Sebahagian daripada kitab-kitab yang telah didengar pembacaannya daripada guru-gurunya ialah Kitab Hadis Kutub Sittah, Muwatta’, Musnad Imam Syafie, Musnad Imam Ahmad, Musnad Darimi, Musnad Abu Uwanah, Musnad Abu Yu’la, Sunan Darut Qutni, Sunan Baihaqi, Syarah Sunnah oleh Bughawi, Kitab Ansab oleh Zabiri, Kitab Khutob Nabatiah, Risalah Qusyairiah, Kitab Amal Yaum wal Lailati oleh Ibnu Sunni, Adabus Sami’ War Rawiy oleh Khatib dan banyak lagi.

Sebahagian besar daripada ulamak-ulamak yang hafaz dan penguasa-penguasa telah mendengar dan berguru dari beliau. Ramai daripada fuqahak di seluruh pelusuk dunia Islam telah mengamalkan segala keilmuannya, fatwanya dan kitab-kitab karangannya.

Ibnu Atthar menceritakan lagi, Imam Nawawi tidak pernah membuang waktunya sama ada pada waktu malam maupun pada waktu siang. Segala waktunya dihabiskan dengan tugas-tugas mencari keilmuan sehingga sewaktu berjalan pun beliau disibukkan dengan mengulangi dan bermutalaah. Beliau lakukannya selama enam tahun. Kemudian beliau menyibukkan diri dengan mengarang, memberikan nasihat kepada orang Muslimin dan para pemimpin mereka. Beliau sentiasa berusaha bersungguh-sungguh ketika beramal berdasarkan kefahamannya itu. Beliau juga berusaha berijtihad untuk keluar daripada perselisihan para ulamak, mengamalkan dengan amalan-amalan hati untuk bermuraqabah dengan Allah SWT, menyucikan hati daripada segala kekotorannya dan sentiasa menghisab dirinya pada setiap langkah yang dilaluinya.

Beliau adalah seorang pentahkik di dalam keilmuannya dan keseniannya, pensyarah, penghafaz Hadis-hadis Rasulullah SAW, mengetahui semua jenis bentuk Hadis di segi ilmu Mustalah Hadis, samada di segi makna yang pelik, keterangannya, pemahaman di segi feqhnya dan pengambilan hukumnya. Beliau juga penghafaz mazhab Imam Syafie dan kaedah-kaedahnya samada di segi usulnya atau furu’nya, mengetahui mazhab para Sahabat RA dan para Tabi’en, mengetahui perselisihan dan ijmak para ulamak, mengikuti jalan dan cara ulamak salaf. Beliau telah menghabiskan segala waktu sehariannya dengan perkara-perkara kebaikan, iaitu sebahagiannya untuk mengarang, sebahagiannya untuk mengajar dan sebahagiannya yang lain untuk sembahyang, membaca al-Qur’an, urusan-urusan keagamaan dan amar ma’aruf serta nahi mungkar.

Kamal Adafawi telah berkata di dalam kitab Badrus Safir menceritakan tentang keadaan Imam Nawawi dengan katanya: “Adakah kamu sekelian membantah terhadapku. Aku telah memutalaah kitab Wasith sebanyak 400 kali?”. Malik Zahir telah mewakafkan Babrus untuk pergi ke Damsyik di atas beberapa urusan. Imam Nawawi menyangka, kedatangan beliau itu adalah untuk memberhentikannya. Tetapi, Malik berkata bahawa beliau adalah orang yang takutkan kepada Imam Nawawi.

Allamah Abu Abdullah bin Abu Fatah Ba’ly al-Hambali pernah menceritakan: “Pada satu malam di dalam Masjid Damsyik, Aku dapati Imam Nawawi sedang berdiri mengerjakan sembahyang ke arah sebatang tiang di dalam keadaan gelap. Dia mengulangi firman Allah SWT yang terdapat di dalam Surah (Waqifuhum annahum masuulun ....) dengan penuh kesedihan dan khusyuk sehingga Aku sendiri terasakan bahawa Allah itu adalah Yang Maha Mengetahui”.

Beliau tidak masuk bilik air, hanya makan sekali sahaja selepas Isyak, hanya minum sekali sahaja pada waktu sahur, tidak minum air sejuk yang dimasukkan ke dalam peti ais dan beliau tidak berkahwin. Allamah Rasyiduddin al-Hanafi telah mendebat perlakuan kehidupan Imam Nawawi yang sentiasa mengurangkan makanannya. Beliau pernah berkata kepada Imam Nawawi: “Aku takut kamu akan ditimpa sakit disebabkan engkau tidak melakukan beberapa perkara yang lebih baik daripada apa yang engkau maksudkannya”.

Imam Nawawi pernah melarang sebahagian daripada sahabatnya agar tidak memakan kulit mentimun kerana takutkan badan mereka akan menjadi lesu dan akan tertidur. Beliau akan menghampiri longgokan kitab-kitab sekiranya beliau merasa hendak tertidur.

Pada satu hari, Qadhil Qudhat Jamaluddin Zar’ie datang menziarahi beliau. Beliau mendapati Imam Nawawi sedang makan sejenis makanan yang diperbuat daripada tepung, dimasak dengan susu atau lemak dan dipanaskan. Sulaiman berkata: “Makanlah. Dia tidak suka memakannya”. Lantas, saudaranya bangun pergi ke sebuah pasar, lalu membawa makanan yang dipanggang dan manisan. Dia pun berkata: “Kamu makanlah makanan ini. Dia tidak memakannya”. Beliau bertanya kepadanya: “Wahai saudara... apakah makanan ini hukumnya haram?”. Beliau menjawab: “Tidak! tetapi, makanan ini adalah makanan orang-orang yang sombong”.

Imam Nawawi tidak memakan buah-buahan yang terdapat di kota Damsyik. Apabila beliau ditanya tentang hal yang demikian itu, beliau menjawab bahawa di kota Damsyik terdapatnya banyak harta wakaf dan harta-harta milik yang berada di bawah penguasaan orang lain. Muamalah di bandar tersebut adalah mengikut cara saliran dan pengairan, di mana cara ini tidak disepakati oleh para ulamak. Ada di antara para ulamak yang mengharuskannya, tetapi mereka juga mensyaratkan bahawa keadaan buah-buahan itu adalah baik dan selamat daripada sebarang syubhat. Kebanyakan manusia tidak akan memakan buah-buahan pada masa itu kecuali sebahagian daripada buah-buahan yang jelas-jelas dimiliki oleh tuan milik yang sah dan menepati hukum syarak. Maka bagaimanakah jiwa seseorang itu akan menjadi baik sekiranya beliau sentiasa memakan makanan yang syubhat?

Imam Nawawi juga sentiasa mempraktikkan manhaj para sahabat RA dan pada masa itu tiada seorang daripada ulamak pun yang mengikut manhaj yang telah dipraktikkan oleh para sahabat RA dengan sepenuhnya kecuali Imam Nawawi. Beliau juga sentiasa memakai baju yang diperbuat daripada kain kapas dan memakai serban ‘Sakhtianiah’. Di janggutnya terdapat beberapa helai bulu yang berwarna putih, sentiasa tenang dan warak dalam segala perlakuan sehariannya. Selepas zaman para Tabi’en, tiada seorang ulamak pun yang menyerupai Imam Nawawi di segi kewarakan, kepintaran, keilmuan, kezuhudan, kemuliaan dan segala sifat yang mahmudah.

Seorang penjaga pintu Madrasah Rawahiah menceritakan, “Pada satu malam Imam Nawawi keluar dari madrasah itu dan aku mengikutinya dari arah belakang. Pintu pagar terbuka dengan sendirinya tanpa dibuka oleh sesiapa pun untuk memberikan laluan kepada Imam Nawawi keluar daripada kawasan madrasah itu. Beliau keluar daripada kawasan madrasah itu dan aku terus mengikutinya beberapa langkah. Tiba-tiba aku terasakan, aku dan beliau ketika itu berada di Kota Suci Mekah. Beliau memakai baju ihram, mengerjakan
tawaf di sekeliling Kaabah dan mengerjakan pekerjaan Sa’ie. Kemudian beliau terus-terusan mengerjakan perlakuan tawaf sehinggalah pada waktu pertengahan malam. Beliau kemudian kembali semula berjalan beberapa langkah dan aku juga mengikutinya dari belakang. Akhirnya, tiba-tiba aku dan beliau berada di Madrasah Rahawiah semula”.

Pada tahun 665 Hijrah, Imam Nawawi telah dilantik sebagai seorang Pengetua Darul Hadis Asyrafiah selepas matinya Abu Syammah sedangkan pada masa itu di negeri itu terdapatnya mahaguru yang lebih tua dan lebih tinggi sanadnya daripada Imam Nawawi. Tetapi juga, Imam Nawawi tidak pernah mengambil sebarang keilmuan daripada guru tersebut sehinggalah beliau meninggal dunia. Imam Nawawi juga mempunyai tiga darjat ketinggian, iaitu keilmuan dan melaksanakan tuntutan-tuntutan keilmuan itu, sifat kezuhudan semasa di dunia dan menyuruh orang lain agar mengerjakan segala kebaikan serta melarang segala perlakuan kemungkaran.

Syeikh Syoddoq Abu Qasim Mizzi menceritakan, “Pada satu malam, aku bermimpi masuk ke kota Damsyik untuk menyelesaikan beberapa keperluan. Seseorang datang menemui kepada aku mengatakan, Imam Nawawi adalah Syeikh Darul Hadis sedangkan pada masa itu aku tidak pernah mengetahui dan tidak pernah mendengar cerita mengenai keadaan Imam Nawawi. Beliau pada masa itu sedang menjawat kedudukan itu. Aku pun terus masuk ke dalam. Apabila aku terpandang sahaja, beliau terus menghampiri aku dan berkata, sembunyikan segala apa yang anda dengar dan jangan ceritakan kepada orang lain. Kemudian beliau kembali kepada tempatnya semula”.

Syeikh Tajuddin Subki menceritakan di dalam kitab Tarsyih, “Pada satu hari, bapaku sedang menaiki seekor baghal. Tiba-tiba, beliau telah menemui seorang tua lagi buta yang sedang berjalan. Mereka berdua terus berbual-bual. Orang tua itu mengatakan, beliau telah terpandangkan kepada Imam Nawawi. Dengan serta-merta, bapaku terus turun dari baghalnya dan mengucup tangan orang tua yang buta itu. Bapaku memohon dari orang tua itu agar mendoakannya. Bapaku mempelawa orang tua yang buta itu untuk menaiki baghalnya, tetapi orang tua buta itu menolaknya. Orang tua itu mengatakan, Imam Nawawi ketika itu sedang berjalan di hadapannya”.

Apabila Imam Nawawi bersedia untuk memberikan pandangan dan beberapa kesimpulan daripada pengajarannya itu, beliau dapat menyimpulkannya dengan cepat. Segala pandangannya itu amat bermanfaat kepada pengkaji yang membuat rujukan dan kajian beberapa keilmuan. Segala karangannya dan susunannya adalah sebagai satu hasil kerja yang cantik dengan menuju ke arah matlamat tujuan menggapai kebenaran.

Sebahagian daripada karangannya ialah kitab Raudhah Tolibin, iaitu sebuah kitab yang diringkaskan daripada kitab Syarah Kabir karangan Imam Rafi’e. Kalau kita melihat kitab Raudhah ini dengan tulisan tangan, ianya terdiri daripada 4 jilid besar. Kadang-kadang ianya terdiri daripada 6 hingga 8 jilid bergantung kepada besarnya tulisan tangan itu. Beliau memulakan susunan kitab Raudhah itu pada hari Khamis, 25 Ramadhan, 666 Hijrah dan beliau dapat menyelesaikannya pada hari Ahad, 15 Rabiul Awwal, 669 hijrah. Kitab Raudhah juga diiktiraf sebagai kitab rujukan yang terpenting sekali di dalam Mazhab kita Syafi’e. Kitab Raudhah adalah sebuah kitab yang paling indah, menarik dan berharga yang boleh memberikan kesan mendalam kepada sidang pengkaji keilmuan. Di dalamnya, terdapat segala percampuran tentang permasalahan hukum syarak dan dimuatkan juga segala huraian permasalahan lalu beliau meringkaskannya dan memperbetulkannya. Dengan demikian itu, beliau adalah seorang tokoh ulamak yang mampu menghuraikan sebarang masalah yang terserlah, memperbaiki susunan masalahnya, menyusun semula segala kaedah-kaedah asasinya lalu zahirlah segala keputusan permasalahan itu dengan terang dan nyata.

Sekiranya di dalam kitab Raudhah itu dikumpulkan segala permasalahan hukum dalam pelbagai mazhab dan diyakinkan dengan beberapa sebab-sebabnya, nescaya kita tidak berhajat kepada punca rujukan yang lain kerana kitab Raudhah itu sendiri mengandungi segala permasalahan hukum yang terdapat di dalam kitab Syarah Kabir, lebih-lebih lagi ianya mempunyai beberapa keistimewaan dengan beberapa penambahan yang tidak ada pada kebanyakan kitab-kitab feqh. Segala penyelesaian permasalahan yang dipaparkan di dalam kitab itu juga diterima oleh keseluruhan para ulamak sebagai satu punca bahan rujukan yang tidak terdapat di dalam sebahagian daripada kitab-kitab rujukan feqh. Para ulamak akan terus mengamalkan setiap daripada penyelesaian permasalahan itu tanpa ragu-ragu lagi sebagai satu tanda kepercayaan yang jitu terhadap keilmuan Imam Nawawi
itu. Dengan demikian, mereka akan terus berpegang teguh dengan segala penyelesaian huraian hukum itu, menggunakan segala kaedah-kaedah usul pemahaman dan mempercayai kata-kata nukilan ulamak yang terdapat di dalam kitab itu. Imam Nawawi telah memperbetulkan segala permasalahan itu adalah bergantung kepada kefahaman Imam Rafi’e dengan ditambah sedikit beberapa permasalahan, syarat-syarat dan perhubungan hukum yang berkaitan.

Azra’ei menceritakan, beliau hampir-hampir hendak mencuci kitab itu sebelum beliau meninggal dunia. Beliau juga mempunyai beberapa kafilah yang terdiri daripada beberapa tunggangan. Kebanyakan manusia pada masa itu sangat prihatin terhadap penulisan kitab Raudhah, membicarakan tentang beberapa tempat dan beberapa pembetulan pada kitab itu yang pada zahirnya ternampak beberapa percanggahan dan beberapa tempat di dalam kitab Raudhah yang menyalahi dengan syarahnya yang disusun oleh Imam Esnawi, Imam Azra’ei, Imam Bulqini, Imam Zarkasyi dan lainnya. Sebenarnya, di antara sebab berlakunya sedikit percanggahan di antara kitab Raudhah itu dengan syarahnya adalah disebabkan kitab Raudhah itu sendiri diringkaskan daripada sebuah naskhah yang terdapat di dalamnya beberapa kenyataan yang tidak benar. Tetapi akhirnya, beliau menjawab bahawa ramai di antara orang yang terkemudian telah memalsukan fakta yang terdapat di dalam kitab itu dan menambahkan segala permasalahan lain, lalu mereka menuduh permasalahan itu saling bercanggahan. Kitab itu dapat diperbetulkan untuk menjawab segala pertanyaan daripada orang ramai pada masa itu daripada sebarang penipuan atau sebarang pemalsuan fakta untuk mengelakkan daripada mereka terus menuduh dengan sewenang-wenangnya bahawa terdapatnya beberapa percanggahan di dalam kitab itu sendiri. Beliau sendiri menambahkan beberapa penyelesaian permasalahan yang dipetik daripada kitab Majmuk dan kitab-kitab karangannya yang lain untuk dimasukkan ke dalam syarah kitab itu.

Imam Nawawi juga mensyarahkan kitab Sahih Muslim dengan diberikan nama sebagai Minhaj Fi Syarhi Sahih Muslim ibni Hajjaj atau lebih dikenali dengan Sahih Muslim Bi Syarhi Nawawi. Imam Nawawi juga mensyarahkan kitab Matan Muhazzab karangan Imam Syirazi dengan diberikan nama kitab Majmuk. Ibnu Attar berkata bahawa Imam Nawawi mensyarahkan kitab Matan Muhazzab itu sehingga kepada bab Masarrah (Bab memerah susu binatang), tetapi Imam Esnawi pula berkata, Imam Nawawi mensyarahkan kitab Matan Muhazzab itu sampai kepada pertengahan bab Riba’. Kitab Majmuk adalah sebuah kitab karangan Imam Nawawi yang paling besar dan menarik. Beliau telah meninggal dunia sebelum beliau sempat menghabiskan kitab Majmuk itu. Di dalam kitab Majmuk itu sendiri terdapatnya beberapa pendapat ulamak di dalam satu perbincangan permasalahan feqh.

Sebahagian daripada kitab karangannya yang lain ialah kitab Minhaj Tolibin yang diringkaskan daripada kitab Muharrar karangan Imam Rafi’e. Kitab Minhaj yang dijadikan sebagai dasar bahan rujukan para pengkaji, para guru dan juga para mufti itu telah selesai diringkaskan pada 19 Ramadhan, 669 Hijrah. Ibnu Attar berkata, “Imam Nawawi telah mencatatkan senarai nama beberapa buah kitab yang telah dikumpulkannya di atas sekeping kertas. Sebelum beliau meninggal dunia, beliau berwasiat agar beberapa buah kitab yang belum disempurnakan hendaklah diselesaikan. Selepas itu, satu kumpulan daripada ulamak telah berusaha untuk menyempurnakan beberapa buah kitab”.

Sebahagian daripada keistimewaan kitab Minhaj ialah guru Imam Nawawi sendiri yang bernama Syeikh Tajuddin Farkhah telah meneliti kitab Minhaj. Apabila beliau pergi ke Kota Damsyik, beliau telah diberikan kitab Minhaj untuk dibacakan dan beliau terus pergi ke Madrasah Rawahiah dengan membawa kitab itu. Salah seorang daripada anak murid Imam Nawawi berkata, “Pada permulaan aku mengkaji kitab Minhaj, aku tertidur dan aku bermimpi menghadiri kelas pengajian Imam Nawawi. Aku berkata kepadanya tentang keadaan kitab Minhaj dan beberapa percanggahan yang terdapat di dalam kitab itu. Beliau terus mula memperbetulkan segala keterangan di dalam kitab itu dan mengeluarkan semula kitab itu seperti tidak ada sebarang perubahan pada kitab itu. Aku berkata kepadanya, wahai tuan Guru, jadikanlah kitab ini sebuah kitab lain selain daripada kitab Minhaj yang asal. Kemudian, beliau menaiki seekor himar yang tinggi dan aku berjalan di belakangnya untuk menuju ke satu destinasi yang tidak berapa jauh daripada situ. Beliau memberikan serbannya kepada aku lalu beliau meninggalkan aku keseorangan. Dalam pada itu beliau berkata, barang siapa yang menyusahkan seorang ulamak dengan menggunakan perkataannya, nescaya dia akan menghilangkan keelokan susunan keterangan ulamak tersebut. Tiba-tiba aku terjaga daripada tidurku dan aku terus berusaha untuk menghafaz matan kitab Minhaj”.

Sebahagian daripada karangannya yang lain ialah kitab yang bernama Naktut Tanbih sebanyak 1 jilid yang dinamakan Ta’liqah. Esnawi berkata bahawa kitab ini adalah di antara kitab karangannya yang terawal dan kita tidak sepatutnya merujuk sepenuhnya kepada semua apa yang ditulis kerana di dalamnya tertulis beberapa pembetulan yang saling bercanggah. Kemungkinan beliau mengumpulkannya daripada kata-kata guru-gurunya. Tetapi, apa yang patut diambil istifadah daripadanya untuk diamalkan adalah tentang cara-cara memotong kuku. Di dalam kitab ini disebutkan bahawa kita disunatkan memulai memotong kuku jari telunjuk tangan kanan, kemudian jari hantu, jari manis, jari kelingking dan ibu jari tangan kanan. Kemudian berpindah ke jari kelingking tangan kiri, jari manis tangan kiri, jari hantu tangan kiri, jari telunjuk tangan kiri dan akhir sekali ibu jari tangan kiri. Bagi kuku-kuku jari kaki pula, hendaklah dimulakan dengan jari kelingking kaki kanan dan diakhiri dengan jari kelingking kaki kiri secara berturut-turut.

SURAT IMAM NAWAWI KEPADA MALIK ZAHIR:
بسم الله الرحمن الرحيم

Daripada Hamba Allah Yahya Nawawi, salam kesejahteraan, kerahmatan dan keberkatan Allah kepada pemerintah yang baik, Raja segala pemerintah yang bernama Badruddin, semoga Allah SWT mengekalkan kemuliaan dan kebaikan kepada tuan, memberikan segala kebajikan, memberikan sebaik-baik keberkatan dan keutamaan di dalam segala matlamat tuan dan semoga Allah SWT akan memberkati di dalam segala keadaan dan perlakuan yang tuan lakukan. Amin.

Apabila kita membicarakan tentang kemuliaan segala keilmuan agama, kita dapati bahawa penduduk-penduduk Syria pada tahun ini di dalam keadaan kehidupan yang tersangat menderita dan merasa kesempitan di dalam segala keadaan mereka dengan sebab hujan turun terlalu jarang, harga barangan melambung tinggi, pepohonan dan tumbuh-tumbuhan yang rimbun lagi membesar terlalu amat sedikit, terdapatnya berbagai-bagai kerosakan jalanraya dan banyak lagi permasalahan.

Tuan tentu mengetahui, tuan adalah wajib dan bertanggungjawab merasa belas kasihan terhadap keadaan rakyat jelata ini, mencarikan beberapa penyelesaian tentang kemaslahataan mereka kerana agama Islam itu sendiri adalah nasihat. Sebelum ini juga, terdapatnya ramai penasihat-penasihat daripada golongan ulamak-ulamak Islam yang sentiasa memberikan ingatan kepada pemimpin semata-mata kerana mereka itu citakan kepada kebaikan. Mereka sentiasa menulis surat kepada pemimpin agar para pemimpin atasan sentiasa meneliti dan merasa ihsan terhadap keadaan rakyat bawahannya. Ingatan ini bukannya sesuatu yang menyulitkan, bahkan hanya satu peringatan dan nasihat semata-mata, merasa belas kasihan dan teguran kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab.

Tanggungjawab seseorang ketua bawahan adalah memberikan cadangan dan syor kepada pihak pemimpin atasan dengan perkataan dan ucapan yang lembut agar mereka mengambil tahu tentang penderitaan dan penghinaan yang terpaksa ditanggung oleh rakyat bawahan.

Surat ini adalah salah satu daripada peringatan ulamak sebagai menunaikan satu amanah dan saling nasihat-menasihati kepada orang-orang atasan, semoga Allah SWT sentiasa memberikan kemuliaan kepada orang-orang yang sentiasa menolong dan meninggikan Kalimah Allah SWT di atas muka bumi ini. Tanggungjawab semua orang-orang Islam adalah memberikan nasihat dan peringatan kepada pihak-pihak yang tertentu agar mereka tidak akan tercuai melaksanakan tanggungjawab mereka.

Tuan adalah bertanggungjawab terhadap amanah ini dan janganlah tuan menarik diri serta tidak mahu mengambil tugas terhadap tanggungjawab ini. Tidak ada hujah bagi tuan untuk melepaskan dan mencuaikan terhadap amanah ini pada sisi Allah SWT. Pada hari yang tidak akan bermanfaat segala harta kekayaan dan anak-pinak nantinya, tuan akan ditanya dan akan dipertanggungjawabkan terhadap tugas-tugas tuan itu. Pada hari itulah, setiap seorang akan melarikan diri daripada saudaranya, melarikan diri daripada ibu-bapanya, melarikan diri daripada kawan-kawannya dan anak-anaknya. Pada hari itu nantinya, setiap
manusia tidak mengharapkan kepada seseorang pun.

Segala pujian bagi Allah bahawa tuan sentiasa inginkan kebaikan dan sentiasa melakukannya, malah sentiasa berlumba-lumba untuk membuat segala kebaikan. Ini adalah kebajikan yang utama dan ketaatan yang paling afdhal. Tuan adalah orang yang selayaknya untuk melakukan semua tanggungjawab itu kerana tuan telah diberikan peluang untuk menerajui singgah-sana itu. Itu adalah salah satu daripada kelebihan yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada tuan. Kami sekelian sentiasa merasa ketakutan sekiranya keadaan kesusahan ini akan bertambah parah lagi. Keperitan dan keparahan ini akan sentiasa berlaku sekiranya pihak tuan tidak meneliti keadaan rakyat tuan yang sentiasa di dalam penderitaan.

Sebenarnya kesemua ulamak yang menghantar surat kepada tuan sentiasa menunggu-nunggu jawapan daripada tuan dan hasil daripada peringatan mereka. Sekiranya tuan melakukan tanggungjawab tuan dengan sepenuhnya, Allah SWT insya-Allah akan memberikan ganjaran pahala yang berlipat-ganda.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

KEWAFATAN IMAM NAWAWI:



Imam Nawawi tidak akan mengambil sesuatu bentuk keilmuan daripada seseorang pun kecuali beliau telah mengenal betul tentang keadaan keagamaan orang itu, tidak adanya perhubungan persaudaraan atau mengambil sesuatu keuntungan yang berbentuk keduniaan.

Salah seorang anak muridnya berkata, “Ketika aku sedang duduk di hadapan tuan Syeikh, iaitu dua bulan sebelum beliau meninggal dunia, tiba-tiba datang seorang fakir seraya berkata, wahai tuan Syeikh, Syeikh folan daripada negeri Syorkhod memberikan salam kepada tuan Syeikh dan memberikan cerek ini kepada tuan Syeikh. Beliau menerima pemberian itu, lalu beliau menyuruhku meletakkannya di dalam sebuah rumah orang-orang yang memerlukan keperluan. Aku merasa hairan kerana beliau menerima pemberian itu. Beliau berkata, tolong carikan beberapa orang fakir. Cerek ini adalah alat bermusafir”.

Pada suatu hari di dalam bulan Ramadhan, seseorang berazam untuk berbuka
bersama-sama dengan Imam Nawawi. Imam Nawawi berkata, “Bawa ke sini makananmu untuk kita sama-sama berbuka secara berjemaah”.

Selepas beberapa hari, ketika Ibnu Attar berada di sisi Imam Nawawi, Imam Nawawi berkata kepadanya, “Aku telah diizinkan untuk bermusafir”. “Bagaimana caranya tuan Syeikh diizinkan untuk berbuat demikian?”. Imam Nawawi menjawab, “Aku duduk di rumahku di Madrasah Rawahiah. Ketika itu kakiku sedang menghala ke arah kiblat. Tiba-tiba, muncul seseorang di ruang udara seraya berkata kepadaku, bangunlah dan bermusafirlah ke Baitul Maqdis. Bangunlah sehingga kita akan tinggalkan semua sahabat kita dan orang yang kita sayangi. Aku pun keluarlah bersamanya pergi ke kubur beberapa orang gurunya. Beliau menziarahi mereka kemudian beliau menitiskan air mata kesedihan. Beliau juga menziarahi rakan-rakannya yang masih hidup. Pada subuhnya, beliau pun meneruskan perjalanannya”.

Beberapa hari sebelum Imam Nawawi meninggal dunia, beliau telah menziarahi Quds dan maqam Khalil AS. Kemudian beliau kembali semula ke kampungnya di Nawa. Tidak lama selepas itu, beliau telah ditimpa sakit di rumah bapanya. Ibnu Attar, salah seorang anak muridnya yang ketika itu sedang berada di Damsyik, telah pergi menziarahi Imam Nawawi ke Nawa. Imam Nawawi berasa gembira dengan kedatangannya itu. Beberapa ketika setelah sihat, Imam Nawawi mengizinkan anak muridnya itu untuk kembali ke Damsyik semula. Ketika itu ialah pada hari Sabtu 20 Rejab, 676 Hijrah. Tetapi kemudiannya Imam Nawawi telah meninggal dunia pada malam Rabu 24 Rejab, 676 Hijrah dan dikebumikan di kampungnya Nawa pada subuh hari itu.

Ibnu Attar menceritakan, “Ketika aku sedang tidur pada malam itu, tiba-tiba ada satu suara yang memanggil-manggil dari dalam masjid Damsyik dengan katanya, sembahyangkanlah kepada tuan Syeikh yang menjadi tiang agama. Ramai di antara penduduk setempat terkejut dengan teriakan itu dan mereka bangun daripada tidur. Aku hanya mengetahui tentang kewafatannya itu pada malam Jumaat. Kemudian aku menyembahyangkannya secara ghaib di masjid Damsyik. Orang-orang Islam pada masa itu, sama ada orang yang rapat dengan beliau atau yang jauh, samada orang yang selalu memuji-muji ketokohan beliau ataupun yang sentiasa mengeji dan mencercanya merasa di dalam kedukacitaan di atas kehilangan beliau itu”.

Sebahagian daripada rakan-rakan karibnya telah meminta Imam Nawawi jangan melupakan mereka pada hari penderitaan di Padang Mahsyar nanti. Imam Nawawi menjawab, “Aku tidak akan masuk ke dalam syurga kecuali selepas orang-orang yang aku kenali selepas daripada aku semuanya masuk syurga”.

Apabila ahli keluarganya hendak membuat kubah di atas maqam Imam Nawawi, bapa saudaranya telah bermimpi ada satu suara mengatakan, jangan kamu sekelian membuat seperti ini kerana setiap kali kamu semua membuatnya, kubah itu kelak akan dirobohkan”. Selepas itu, maqam Imam Nawawi hanya ditandakan dengan batu sahaja.

Saudara Imam Nawawi, Syeikh Abdul Rahman menceritakan, “Ketika Imam Nawawi sedang sakit yang membawa kepada kewafatannya itu, beliau mengidam hendak memakan epal. Tetapi, apabila dibawakan beberapa biji buah epal, beliau tidak memakannya”. Apabila beliau meninggal dunia, sebahagian daripada ahli keluarganya bermimpi dan beliau berkata, “Muliakanlah kedudukanku, Allah telah menerima amalanku. Benda yang pertama sekali yang didatangkan kepadaku ialah buah epal”.

Selepas sahaja Imam Nawawi meninggal dunia, sebahagian daripada para pelajar pada masa itu telah pergi ke maqamnya dan berkata, “Engkaulah yang telah berselisih pendapat dengan Imam Rafi’e di dalam beberapa masalah hukum”, seraya menuding-nuding jarinya ke arah maqam Imam Nawawi. Apabila pelajar itu bangun daripada tempat duduknya, beliau telah disengat kala.

Di dalam kitab Inbahul Ghamar karangan Syeikhul Islam Ibnu Hajar, beliau juga memperkatakan tentang biodata Jamal Raimi, seorang ulamak yang mensyarahkan kitab Tanbih dan selalu sahaja menghina Imam Nawawi. Apabila Imam Nawawi meninggal dunia, seekor kucing telah masuk ke dalam bilik mandi Raimi ketika beliau sedang mandi sehingga lidahnya tercabut kerana terperanjat.

p/s : di karang oleh Samsudin Selamat dan di edit skit2 oleh Rahmat Khalil

Read More......